Sulawesi Tengah dan Keragaman Peninggalan Cagar Budaya


Situs Mpolenda Wanga
Masa lalu merupakan bagian yang penting dari kehidupan manusia masa kini, oleh karena itu untuk mengkaji dan mempublikasikan informasi tentang masa lampau dibutuhkan sistem pengelolaan sumber daya budaya yang terarah. Pengelolaan yang profesional akan dapat menumbuhkan rasa bangga dan rasa memiliki serta mencintai warisan budaya leluhur dan nilai-nilai positif yang dikandungnya. Keragaman peninggalan warisan budaya masa lalu di Sulawesi Tengah, khususnya peninggalan megalitik yang mempunyai ciri khas merupakan pengetahuan  dan kebudayaan atas cipta, karya dan rasa masyarakat pada masa lampau yang memiliki nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan suatu pedoman atau landasan untuk menentukan arah kebijakan dan strategi dalam pengambilan dan penentuan langkah di berbagai aspek kehidupan bangsa.


Potensi sebaran peninggalan sejarah dan purbakala di Sulawesi Tengah yang menggambarkan sisa-sisa kejayaan masyarakat di wilayah ini belum sepenuhnya mendapat atensi dan apresiasi dari masyarakat. Oleh karena itu  untuk menumbuhkan minat dan apresiasi masyarakat terhadap objek-objek tersebut dilakukan melalui beberapa cara seperti pelestarian dan penyelamatan ,dokumentasi, perlindungan,  pengamanan, pengelolaan dan pemanfaatan. Salah satu langkah awal dari pelestarian dan penyelamatan data-data dilapangan yang sangat berharga adalah melalui tahapan penelitian yang intensif.
Situs Tamadue

Bentuk kebudayaan yang ada saat ini mulai menyebar di Nusantara bersamaan dengan penyebaran budaya Austronesia melalui migrasi dari suku-suku bangsa yang menggunakan bahasa Austronesia. Wilayah penyebarannya adalah Korea, Jepang, Formosa, Cina, Asia Tenggara, dan Pasifik. Terdapat dua jalur migrasi yaitu jalur melalui Indonesia bagian barat dan jalur utara yang menyebar ke wilayah Indonesia timur dan sampai ke kepulauan di Pasifik. Berdasarkan dari hasil-hasil penelitian tersebut, maka arti penting wilayah Sulawesi dan Maluku berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki termasuk potensi arkeologi, dapat digambarkan sebagai berikut (Ambary, 1998:150) :
1)  Dari segi zoografi, wilayah ini merupakan wilayah transisi antara dua lini fauna, yakni Wallace dan Weber.
2)  Dari segi geolinguistik, wilayah ini dianggap sebagai tanah asal dari suku-suku bangsa pemakai bahasa Austronesia.
3) Dari segi geokultural, wilayah ini merupakan daerah lintasan strategis dalam migrasi-migrasi manusia dan budaya dari Asia Tenggara ke wilayah Melanesia, Mikronesia, serta Oceania.
4)  Dari segi ekonomi, wilayah ini merupakan wilayah yang memiliki potensi hasil hutan
    yang cukup penting, yang menyebabkan wilayah tersebut menjadi ajang potensial di
    dalam pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi.

Peninggalan Pra Sejarah di Sulawesi Tengah
Penelitian peninggalan arkeologi di Sulawesi Tengah telah dilakukan oleh para peneliti bangsa Eropa sejak akhir abad 19, yang dimulai oleh Adriani dan A.C. Kruyt dalam tulisannya “Van Poso naar Parigi een Lindoe” pada tahun 1898. Kemudian pada tahun 1938 Kruyt menerbitkan tulisannya “De West Toradjas in Midden Celebes”, dan dalam tulisan tersebut Kruyt menyebutkan beberapa tinggalan arkelogis di Kulawi seperti kalamba di Gimpu, batu dulang di Mapahi, dan peti kubur kayu di Danau Lindu. Walter Kaudern, seorang peneliti berkebangsaan Swedia pada tahun 1938 menebitkan tulisannya “Megalithic Finds in Central Celebes” dan sebuah tulisan tentang etnografi “Structure and Settlements in Central Celebes”.

Penelitian potensi arkeologi oleh peneliti Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1976 oleh Tim Proyek Penelitian dan Peninggalan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tim dipimpin oleh seorang arkeolog Haris Sukendar dan dalam penelitiannya sempat melakukan ekskavasi awal pada Situs Suso di Padang Tumpuara, Lembah Bada Kabupaten Poso. Situs-situs megalitik di Sulawesi Tengah terkonsentrasi di kawasan Taman Nasional Lore Lindu yang meliputi Lembah Napu, Lembah Besoa, Lembah Bada, Danau Lindu, Kulawi, dan Gimpu. Mencakup dua kabupaten yaitu Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Kawasan Taman Nasional Lore Lindu merupakan kawasan perlindungan benda cagar budaya dan perlindungan serta konservasi keaneka ragaman hayati yang endemik. Jenis temuan megalitik di Taman Nasional Lore Lindu yaitu Kalamba, Arca Menhir, Menhir, Batu Dakon, Batu Dulang, Lumpang Batu, Batu Kerakal, Altar, Dolmen, Tetralit, Temu Gelang, Tiang Batu, Tumulus, Punden Berundak, Tempayan Kubur, Batu Gores, Palung Batu, Peti Kubur Kayu, dan Jalan Batu.


Lokasi penemuan tinggalan kalamba di Sulawesi Tengah meliputi wilayah Lore yang terbagi dalam tiga wilayah, yaitu Lore Utara atau Lembah Napu, Lore Tengah atau Lembah Behoa, dan Lore Selatan atau Lembah Bada. Selain di Lore, temuan kalamba hanya di temukan di wilayah Kulawi. Laporan yang cukup lengkap tentang keberadaan kalamba dan ekskavasi di Lore, pertama kalinya dibuat oleh Walter kaudern. Ia menyebutkan dan menggambar penampang beberapa temuan kalamba mempunyai tutup di Padang Tumpuara yaitu di tepian sebelah barat Sungai Tawailia. Kalamba di wilayah Lore ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak dan dalam lokasi yang terkonsentrasi, sedangkan di Kulawi temuan kalamba saat ini baru ditemukan berjumlah 1 buah, yaitu di Situs Tomua. Temuan kalamba di Lore khususnya yang berada di Lembah Behoa memperlihatkan sejumlah variasi kalamba dalam berbagai ukuran, bentuk, dan tipologi penampangnya, serta bentuk dan tipologi pola hiasnya. Temuan kalamba di Lembah Behoa ada yang mempunyai tutup dan ada tidak bertutup. Adapula kalamba yang berhias dan ada juga yang polos. Bentuk hiasan kalamba di Lembah Behoa berupa hiasan wajah atau tubuh manusia, binatang, pit marked, dan hiasan geometris.

Istilah wadah kalamba dalam bahasa Lore kuno berarti “Perahu”, namun berbeda dengan penyebutan di Kulawi. Untuk penamaaan tinggalan sejenis kalamba yang ditemukan di situs Tomua, oleh penduduk setempat disebut “Watunoncu” yang berarti batu lumpang. Penamaan itu kemungkinan besar diberikan oleh generasi sekarang yang tidak mengetahui lagi nama dan fungsinya, juga karena bahannya dilihat terbuat dari batu dan dibentuk lubang ditengahnya seakan-akan mirip temuan lumpang batu. Ekskavasi yang dilakukan di Padang Birantua, Lembah Bada oleh Kaudern (1938) dan Haris Sukendar (1976), serta ekskavasi di Situs Tadulako, Lembah Bada oleh Tim Pusat Arkeologi (2000) telah membuktikan bahwa fungsi kalamba adalah sebagai wadah penguburan secara komunal. Dalam ekskavasi tersebut ditemukan fragmen tulang dan tengkorak manusia, gigi manusia, serta fragmen gerabah. Dari bukti tersebut menunjukkan kesesuaian istilah kalamba di wilayah Lore yang berarti perahu, yaitu sebagai wadah kubur dan perahu para arwah orang meninggal untuk menuju alam kehidupan yang lain. Mengenai fungsi kalamba yang ditemukan di Situs Tomua Kulawi belum dapat diketahui dengan pasti, karena diwilayah ini belum dilakukan penelitian arkeologi yang intensif.

Lumpang Batu merupakan salah satu unsur megalitik yang cukup banyak ditemukan di wilayah Kulawi. Masyarakat setempat menyebut lumpang batu juga dengan kata “Watunoncu” (batu Lumpang) dan “Nonjuji” yang berarti lumpang tempat bersemayam roh-roh halus. Fungsi lumpang batu yang ditemukan di Kulawi adalah sebagai wadah menumbuk butiran-butiran padi dan jagung, selain sebagai wadah untuk menumbuk biji padi dan jagung lumpang batu juga berfungsi sebagai wadah menumbuk pewarna alami yang disebut “Ula” untuk mewarnai kain kulit kayu (Kruyt, 1938 :472).

Peti Kubur Kayu berisi tulang rangka manusia yang di temukan di Pulau Bola Lewuto Danau Lindu merupakan tinggalan arkeologis yang cukup menarik, karena temuan seperti ini belum pernah ditemukan di wilayah dekat Kulawi yang banyak peninggalannya seperti Napu, Behoa, dan Bada. Selain di Kulawi, peti kubur kayu di Sulawesi Tengah ditemukan pula di gua penguburan di Tentena kabupaten Poso yaitu di gua Tangkaboba, Pamona, dan Latea. Peti kubur kayu berisi tulang rangka manusia juga ditemukan di Kecamatan Beteleme, Kecamatan Mori Atas, dan Kecamatan Bungku, di Kabupaten Morowali. Kerangka yang ditemukan di dalam peti kayu di danau Lindu adalah bangsawan bernama “Madika Maradindo”, setelah meninggal bergelar “Toi Lumu Palio” artinya orang yang diawetkan di dalam peti kayu gaharu.
Situs Watu Meboku

Arca Menhir yang terdapat di Taman Nasional Lore Lindu sebagian besar masih dalam keadaan utuh dan tersebar di padang-padang rumput, di tengah hutan, dan di tengah perkampungan penduduk. Penggambaran bentuknya adalah bentuk manusia atau hewan yang statis, kadang-kadang hanya wajah, tangan, genetalia, dan tanpa kaki. Pada bagian wajah terdapat pahatan mirip ikat kepala “Tali Bonto” yang masih digunakan oleh masyarakat Lore hingga saat ini.
Peninggalan Arkeologi Islam 
Makam Dato Mangaji
Peninggalan arkeologi Islam memberikan informasi yang jelas bagaimana awal penyebaran Islam di Sulawesi Tengah pada abad ke-17 hingga terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam. Jejak-jejak kerajaan Islam di Sulawesi Tengah dari kurun waktu pertengahan abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20 adalah  Kerajaan Bangga, Kerajaan Palu, Kerajaan Sigi, Kerajaan Tatanga, Kerajaan Dolo, Kerajaan Tavaili, Kerajaan Sindue, Kerajaan Banawa, Kerajaan Banggai, Kerajaan Buol, Kerajaan Toli-Toli, Kerajaan Bungku, dan Kerajaan Tojo.
Masjid Tua Bungku

Potensi dari jejak peninggalan Islam di Sulawesi Tengah yang dapat dikembangkan dalam tema penelitian adalah berupa peninggalan masjid-masjid tua dan istana raja yang merupakan bukti dari awal penyebaran Islam dan berdirinya kerajaan. Misalnya Masjid Tua Bungku di Desa Marsaoleh Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali, yang didirikan oleh Raja Bungku bernama Kacili Mohammad Baba pada tahun 1835. Sejak tahun 1970-an masjid tua Bungku sudah tidak digunakan lagi, karena mengalami kerusakan parah. Pada tahun 1992 masjid tua Bungku dipugar oleh Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Berbagai peralatan masjid sebagian masih dalam kondisi baik, namun sebagian telah rusak. Oleh sebab itu pihak museum mempunyai tugas untuk meneliti potensi penyelamatan benda cagar budaya di Masjid Tua Bungku yang masih tersisa untuk dijadikan koleksi dan dipublikasikan kepada masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai sejarah perkembangan Islam di Sulawesi Tengah.

Peninggalan Kolonial
Gedung Kopra Peninggalan Belanda
di Gunung Bale, Donggala
Peninggalan Kolonial adalah jejak-jejak budaya pada masa kolonial Portugis, Belanda, dan Jepang di Sulawesi Tengah. Berbagai peninggalan yang masih dapat disaksikan adalah bangunan rumah, rumah ibadah, kantor, penjara, benteng pertahanan, gudang, dan peralatan militer.  Salah satu potensi peninggalan masa kolonial yang belum banyak tersentuh adalah peninggalan masa penjajahan Jepang di Sulawesi Tengah dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945. 


Saat ini benteng-benteng pertahanan tentara Jepang di beberapa wilayah kabupaten
Bunker Peninggalan Jepang (Vailbox)
sudah menjadi reruntuhan dan belum pernah diadakan penelitian. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka jejak kebudayaan yang mengandung nilai sejarah akan musnah tanpa dapat diketahui peranannya dalam perjalanan sejarah di Sulawesi Tengah. Misalnya benteng pertahanan tentara Jepang berupa
bunker atau veilbox di sepanjang pesisir pantai Kota Toli-Toli yang saat ini telah banyak mengalami kehancuran, padahal benteng ini merupakan bukti sejarah yang dapat dijadikan pengetahuan berharga bagi masyarakat mengenai pendudukan Jepang dan pengaruhnya di Sulawesi Tengah. Pada masa penjajahan Jepang di dalam bunker terdapat berbagai jenis senjata untuk menangkis serangan tentara sekutu, namun saat ini senjata-senjata tersebut telah banyak yang hilang atau disimpan penduduk. Hal tersebut juga merupakan potensi besar bagi penelitian untuk pengadaan koleksi museum.

Pengelolaan dan Pemanfaatan Peninggalan Benda Cagar Budaya
Propinsi Sulawesi Tengah mempunyai peninggalan sejarah dan purbakala yang cukup banyak, unik, dan menarik untuk ditelusuri latar belakang sejarahnya atau diteliti lebih lanjut dan dikembangkan bagi kepentingan dunia ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pariwisata (khususnya pengembangan objek wisata budaya). Usaha pemberdayaan dan pemanfaatan situs-situs megalitik di Sulawesi Tengah dilakukan melalui penelitian, pemeliharaan, dan pemanfaatan untuk masyarakat luas tanpa melanggar kaidah-kaidah arkelogis. Pengkajian terhadap situs megalitik dimaksudkan untuk mengetahui penyebaran atau distribusi dan  hubungan dari antara artefak dengan artefak lainnya,hubungan antara artefak dengan lingkungan sekitarnya,  hubungan antara situs, serta hubungan antara wilayah yang luas.

Usaha pemberdayaan  warisan budaya masa lalu di Propinsi Sulawesi Tengah yang terkait dengan masalah dunia ilmu pengetahuan, pendidikan dan budaya, serta pariwisata, adalah melakukan dengan nyata revitalisasi budaya untuk kepentingan masyarakat luas melalui pemberdayaan Cultural Resources Management (CRM). Perlu direalisasi sebuah lokasi yang strategis berfungsi sebagai pusat informasi mengenai situs megalitik dan adat istiadat masyarakat di sekitarnya. Dapat pula dilakukan pengembangan Ekologi Museum yang berkaitan dengan keberadaan situs  bersamaan dalam suatu lokasi dengan Taman Nasional atau Cagar Alam yang melindungi keanekaragaman hayati endemik di Pulau Sulawesi.


Program pengelolaan sumber daya arkeologi ini nantinya, pada masa yang akan datang peran serta masyarakat harus ditingkatkan lagi. Masyarakat lokal sebagai pewaris dan sekaligus pemilik tinggalan arkeologi dilibatkan dalam pengelolaan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Kebijakan yang senantiasa mengikut sertakan masyarakat  dalam pemanfaatannya untuk meningkatkan taraf hidup, akan membawa pengaruh pada pengamanan situs atau artefak. Kebanggaan terhadap budaya leluhur dan rasa memiliki terhadap warisan budaya tersebut akan sangat membantu tujuan pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya.



Referensi
Bank, E.
1937  Some Megalithic Remains From the Kalabit Country in Sarawak with Some Notes on the Kalabit themselves. The Sarawak Museum Journal, Volume IV No.15, Kuching Sarawak.
Colani, Madeleine
1935  Megalithic du Haut-Laos. 2 Volumes. Publication de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient. Nos 22,26.
Dwi Yani Yuniawati
2000  Laporan Penelitian di Situs Megalitik Lembah Besoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Berita Penelitian Arkeologi No. 50, Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi, Jakarta.
Haris Sukendar
1980 Laporan Penelitian Kepurbakalaan di Sulawesi Tengah, BPA, No25,Jakarta, Puslit Arkenas.
Kaudern, Walter
1938   Megalithic Finds in Midden Celebes, Etnographical Studies in Celebes. Elanders Boktryckeri Aktiebolag Goteborg.
Kruyt, A.C.
1944 De West Toradjas op Midden Celebes. Terjemahan. Proyek Pengembangan Permuseuman Sulawesi Tengah, Palu.
Tim Survey
2001  Inventarisasi Situs Megalitik di Taman Nasional Lore Lindu dan Sekitarnya, Palu, Yayasan Katopasa Indonesia.

Comments

Popular Posts