SEPASANG MERPATI TUA* ; Menyikapi Kehidupan & Idelogi Budaya dalam Saduran Bebas Lokatif
Sebuah
pertanyaan tentang karya saduran. Sebuah
naskah yang ditulis dari bab-bab yang diambil sebuah buku berbahasa Inggris.
Bab-bab itu sudah diindonesiakan, lalu ditambahkan pula bab lain karya penulis
tersebut. Benarkah
ini disebut karya saduran? Apakah dalam dunia akademis untuk karya tulis ilmiah
atau nonfiksi dikenal karya saduran?
Seorang Penerjemah
menghasilkan naskah terjemahan, sedangkan penyadur menghasilkan naskah saduran.
Pada karya terjemahan, penerjemah sama sekali tidak menciptakan karya baru
karena tugasnya hanya mengalihbahasakan sebuah buku dari bahasa sumber ke
bahasa penerjemahan, baik itu fiksi, nonfiksi, maupun faksi. Adapun pada karya saduran, penyadur
menciptakan naskah yang berbeda atau baru dari bentuk sebelumnya.
Berikut
Definis saduran dari KBBI
berikut ini :
… 2. menyusun kembali cerita secara bebas
tanpa merusak garis besar cerita, biasanya dr bahasa lain: pengarang itu suka -
cerita dr bahasa asing ke dl bahasa Indonesia; 3. mengolah (hasil penelitian,
laporan, dsb); mengikhtisarkan: mereka sedang - hasil penelitian mereka untuk
dijadikan buku.
Defenisi
tersebut menyiratkan dua jenis karya saduran sebagai berikut :
1. Karya
saduran adalah karya sastra (fiksi) yang diubah jalan cerita atau unsur
intrinsiknya (tokoh, latar/setting, alur) dengan menggunakan bahasa lain atau bahasa
berbeda dari bahasa sumber.
2. Karya saduran adalah karya akademis (nonfiksi) nonbuku yang dikonversi atau diolah menjadi buku dengan tanpa mengubah bahasa sumber.
2. Karya saduran adalah karya akademis (nonfiksi) nonbuku yang dikonversi atau diolah menjadi buku dengan tanpa mengubah bahasa sumber.
Karya saduran
dalam bentuk fiksi bisa sangat tidak kentara jika penulis tidak menyebutkan
karyanya sebagai hasil menyadur. Karena itu, redaksi media massa ataupun
penerbit buku kerap menetapkan aturan bahwa naskah yang mereka terima harus
naskah asli, bukan hasil jiplakan atau hasil saduran. Saduran memang berpotensi menjadi
sebuah tindakan tidak terpuji seperti menyadur lagu-lagu berbahasa asing ke
dalam bahasa Indonesia dan seseorang yang melakukannya menyebut bahwa itu
adalah ciptaannya—tidak mengakui sebagai hasil saduran. Begitupun jika terjadi
pada karya-karya tulis yang sebenarnya merupakan karya orang lain dari negara
lain.
Dalam konteks
penulisan akademis nonfiksi, istilah saduran tadi dapat digantikan juga dengan
istilah konversi, contohnya penyaduran skripsi, disertasi, atau tesis menjadi
buku dapat disebutkan sebagai konversi skripsi, disertasi, atau tesis menjadi
buku. Jadi, ada dua konteks karya saduran yaitu konteks sastra (fiksi) dan
konteks karya tulis ilmiah (nonfiksi). Lantas bolehkah seseorang mengambil
karya orang lain berbahasa asing dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi, kemudian diindonesiakan,
lalu diberi beberapa paragraf kesimpulan sehingga bisa disebut karya saduran?
Tentu, pertama tidak dibenarkan sepanjang tidak ada izin dari penerbit
asli/penulis asli meskipun dicantumkan sumbernya. Selain itu, karya itu tidak pula
dapat disebut sebagai karya saduran karena diambil dari karya orang lain yang
berbahasa asing tanpa menciptakan karya baru. Alhasil, lebih tepat disebut
terjemahan. Namun, karena mungkin penulisnya tidak mau disebut penerjemah, ia
pun berkilah itu karya saduran. (sumber : Kompasiana)
Ketika
membicarakan masalah hasil terjemahan, biasanya kita mempertimbangkan antara
“bentuk” (form), dan “makna” (meaning). Kemudian orang
membincangkan antara hasil terjemahan dalam hal tingkat “kesetiaan pada bentuk”
dan “kesetiaan pada makna”. Seorang
penerjemah tentu sudah paham benar apa yang dimaksud dengan dua macam kesetiaan
(faithfulness) tersebut.
Kemudian, ada
golongan penerjemah yang berkecenderungan mempertahankan yang nomor 1 dan ada
yang nomor 2, dan tentu saja banyak yang berupaya mempertahankan dua-duanya.
Secara teori
ada tingkat kesetiaan paling rendah dan paling tinggi, atau paling setia dan
paling tidak setia alias paling bebas. Di antara dua titik ekstrem itu ada
rentang yang cukup lebar yang sering menimbulkan polemik, bahkan pertentangan,
karena biasanya para penerjemah terpancang hanya pada dua istilah, yaitu
terjemahan letterljik (literal) dan
terjemahan bebas. Mereka tidak terlalu tertarik adanya bentangan rentang di
antaranya. Tidak
jarang dijumpai
penerjemah yang mengklaim hasil terjemahannya sebagai “terjemahan bebas” ketika
karyanya dikomentari oleh orang/rekan lain, “Ini terjemahan bebas saya. Saya tidak suka terjemahan yang leterlek
(maksudnya letterlijk)”.
Patut disayangkan, ada juga penerjemah yang karena tidak dapat memahami makna
kalimat aslinya, kemudian dia terjemahkannya sesuai dengan tafsirannya sendiri
dan mengklaim serta berdalih itu sebagai “terjemahan bebas”. Dalam konteks
lain, ada penerjemah senior yang menasihati juniornya, “Kalau menjumpai kalimat yang sulit dibuat terjemahannya, terjemahkan
saja secara letterlijk!”.
Ada juga penerjemah yang menyatakan, “Untuk
produk hukum, saya selalu terjemahkan secara letterlijk, supaya maknanya tidak berubah”.
Sebaliknya, tidak sedikit orang mengingatkan kita, “Jangan diterjemahkan secara letterlijk
dong, dan jangan takut menerjemahkan secara bebas!”.
Nah, dengan
melihat dua istilah, “letterlijk” dan “terjemahan bebas”, dalam paragraf di
atas, kita melihat betapa pemaknaan dan persepsi orang bisa saling berbeda.
Perbedaan semacam itu, besar atau kecil, bisa menimbulkan masalah. Oleh karena
itu, “demi kesatuan bahasa” para penerjemah, kini ada upaya untuk membakukan
istilah-istilah tersebut sebagai berikut
(1) Terjemahan
“harfiah”, untuk letterljik, literal, word-for-word
(2) Terjemahan
“katawi”, untuk phrasal translation
(3) Terjemahan
“wajar”, untuk idiomatic translation
(4) Terjemahan
“bebas”, untuk free translation
(5)
(Terjemahan) “saduran”, untuk adaptation
(6)
(Terjemahan) “saduran bebas”, untuk free adaptation
Keterangan:
Untuk
memperjelas penerapan istilah-istilah tersebut, diberikan contoh kalimat
sebagai model :
The
old lady came again last week
(1) Itu tua
wanita datang lagi lalu minggu => Terjemahan
Harafiah
(2) Wanita tua
itu datang lagi minggu lalu => Terjemahan
Katawi
(3) Wanita tua
itu datang lagi minggu yang lalu => Terjemahan
Wajar
(4a) Wanita tua
yang baik hati tersebut datang lagi minggu yang lalu => Terjemahan Bebas 1
(4b) Wanita tua
bawel itu nongol lagi minggu yang lalu => Terjemahan Bebas 2
Catatan:
Dalam terjemahan bebas, penerjemah berupaya menyesuaikan dengan lingkungan dan
konteks tulisan aslinya; dalam upaya tersebut dia merasa perlu, oleh karena itu
“bebas”, menambah periannya, bahkan juga persepsinya.
(4a) =
Penerjemah menambahi “yang baik hati” supaya sesuai dengan nuansa
aslinya. Dalam naskah aslinya memang terungkap bahwa dia baik hati.
(4b) = Kata “bawel”
dan “nongol” supaya sesuai dengan konteks aslinya, atau sesuai dengan
persepsinya sendiri. Tambahan “yang baik hati”, “bawel”, dan “nongol” digunakan
oleh si penerjemah karena dalam tulisan bahasa aslinya tidak terdapat
kata/istilah konkret yang dapat diterjemahkan langsung, melainkan hanya
terdapat kata/ungkapan ber-konotasi saja yang konotasinya tidak lazim digunakan
dalam bahasa Indonesia (atau sebab lain semacam itu). Itulah sebabnya digunakan
kata “bawel” dan “nongol”, yang diyakini gampang dipahami oleh pembaca
Indonesia tanpa melalui kata berkonotasi (Tidak harus melakukan “reading
between the lines”).
Tentang
Saduran
Saduran ada dua
macam: (1) saduran bukan penerjemahan, misalnya novel dipentaskan sebagai
pertunjukan panggung, dan (2) saduran penerjemahan, misalnya naskah pentas asli
“The Proposal” oleh Shakespeare, dipentaskan di Jogja dalam bahasa Jawa oleh
teater lokal dengan judul “Lamaran”.
Coba
membahas yang nomor dua (saduran
penerjemahan). Syarat saduran yang utama ialah bahwa karya saduran harus
mempertahankan (tidak merusak) garis besar materi naskah asli, atau garis besar
alur cerita. Dalam pentas dengan bahasa Jawa tersebut bisa saja diadakan
adaptasi latar belakang yang cukup radikal, namun demikian karya pentas ini
tetap dapat dinamakan karya “saduran” selama garis besar alur cerita naskah
asli dipertahankan.
Misalnya para
pelakonnya memakai nama-nama orang Jawa, pakai baju surjan, pakai
blangkon, kambing sebagai binatang kesayangan yang dipelihara (bukan anjing
seperti pada naskah aslinya).
Dalam saduran
bebas, garis besar atau alur cerita dibuat “mirip”, bukan dipertahankan “sama”
dengan naskah aslinya. Dikatakan “bebas” karena penerjemah sengaja memasukkan
bukan saja penyesuaian (adaptasi), melainkan bisa juga opini, misi, sindiran,
pelesetan, lawakan, pesan pribadi dan sebagainya.
Tentang
istilah “bebas”
Ada
kecenderungan sementara penerjemah menyukai penggunaan istilah “bebas” untuk
karya terjemahannya. Dalih atau alasannya, misalnya supaya kalimat-kalimatnya
tidak kaku, atau karena tidak ada padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia ,
atau karena terjemahan “wajar” tidak mungkin diwujudkan tanpa sedikit
“kebebasan”. Oleh karena itu ada juga yang menamakan karya terjemahannya
sebagai terjemahan “wajar bebas”, atau “free idiomatic translation”.
Pembakuan
istilah memang tidak mengikat kepada siapapun, dan tidak merupakan keharusan
untuk ditaati. Namun demikian, dengan adanya upaya pembakuan diharapkan para
penerjemah dapat menggunakannya sebagai alat yang dapat membantu mengadakan
evaluasi diri atas karyanya. Misalnya apakah karyanya terlalu bebas, atau
terlalu harfiah, terlalu kaku, kurang idiomatis, dan sebagainya. (sumber : Blog Bahtera)
Mengintip
Teater Koma, Nano Riantiarno dan Naskah Saduran
Sejak didirikan pada 1 Maret 1977,
Koma selalu konsisten mengangkat tema-tema besar dan berdurasi tiga sampai
empat jam, seperti Trilogi Opera Kecoa, Rumah
Kertas, Suksesi, Republik Togog, dll. Mereka pun kerap menggarap
karya-karya para dramawan kelas dunia sedari William Shakespeare, Moliere,
Arthur Miller, dan kali ini Bertolt Brecht.
Meski mengangkat tema besar, Koma
sebenarnya berhasil meraup penggemarnya sendiri. Karena bagi Nano Riantiarno, “Teater
bisa menjadi salah satu jembatan menuju suatu keseimbangan batin dan jalan bagi
terciptanya kebahagiaan yang manusiawi.”
Di atas kertas, tentu mudah belaka
mengucapkan itu. Namun di atas pentas, butuh kerja keras untuk membuktikannya.
Apalagi keyakinan Nano itu sejajar dengan nuansa Brechtian yang sarat unsur “epik” teater dan teater keterasingan.
Semuanya cenderung mengarah pada proses pencarian kasih sayang (compassion) pada sesama umat manusia.
Brecht
yang lahir di Augsburg, Kekaisaran Jerman, pada 10 Februari 1898, jelas adalah
saksi paling dekat Perang Dunia I yang berlangsung sejak 28 Juli 1914 sampai 11
November 1918. Apa yang kemudian ia kecap
dari getirnya pengalaman perang itu, tercurah dalam Mutter Courage und ihre Kinder. Bukan tak mungkin naskah yang Brecht
karang tersebut merupakan rekaman langsung Perang Dunia I yang berkait dengan
hidupnya. Pengendapan emosional semacam inilah yang tak terlalu menonjol
dalam karya Nano Riantiarno berjudul Ibu.
Kengototan, kejengahan, asa yang
kandas, adab manusia yang degil karena perang, sama sekali tak tercitra dengan
baik di atas panggung Koma. Kecuali kekunoan yang terpaksa dilekatkan pada
gerobak, kostum—yang entah kenapa malah terlihat serba baru dan tidak
mencerminkan suasana perang.
Menjadi mafhum bila kemudian bekas
luka psikosomatis perang itulah yang kerap mewarnai banyak lakon yang ditulis
Brecht hingga jelang akhir hayatnya di Mitte, Berlin Timur, Republik Demokratik
Jerman, 14 Agustus 1956 pada umur 58 tahun.
Tentu Brecht memiliki dasar yang
kuat kenapa menuliskan lakon tersebut. Sayang, alasan yang sama tak terjadi
pada Nano saat memilih Ibu untuk
dipentaskan Koma. Ruang sejarah yang mereka ciptakan, terlalu lebar jaraknya
dengan kekinian. Sehingga penonton seolah sedang terjebak dalam ruang-waktu tak
bercandra. Sebuah kesalahan fatal pertunjukkan yang entah kenapa selalu terjadi
berulang di panggung teater Indonesia. (sumber : Teater Koma)
Ideologi Budaya Penerjemah
Dalam tulisannya di Jurnal
Kalam mengenai Julius Caesar, Melani Budianta
mengutip pernyataan Ikranegara bahwa
menerjemahkan adalah suatu "strategi intertekstual" untuk mengolah
teks sumber menjadi teks miliknya sendiri. Teks terjemahan bisa saja
berbeda dari teks aslinya karena ia membawa sosok ideologi budaya dan zaman
yang berkembang di dalam diri seorang penerjemah. Sementara saduran tentu saja
telah disesuaikan dengan kepentingan naskah itu sendiri.
Perbandingan naskah drama asli berjudul Zerbrochene
Krug karya penulis
Belanda Heinrich Von Kleist, dengan
terjemahannya (oleh Dian Ekawati)
& sadurannya (oleh Suyatna Anirun):
Pertama, pada halaman muka atau halaman judul. Judul dalam bahasa Belanda adalah Der Zerbrochene Krug. Dian Ekawati menerjemahkan judul itu (dari bahasa Inggris) menjadi Guci yang Pecah. Suyatna Anirun—berdasarkan alih bahasa oleh R.S. Hartono Martokusumo S.H.---menerjemahkannya dengan Jambangan yang Pecah.
Pertama, pada halaman muka atau halaman judul. Judul dalam bahasa Belanda adalah Der Zerbrochene Krug. Dian Ekawati menerjemahkan judul itu (dari bahasa Inggris) menjadi Guci yang Pecah. Suyatna Anirun—berdasarkan alih bahasa oleh R.S. Hartono Martokusumo S.H.---menerjemahkannya dengan Jambangan yang Pecah.
Jambangan
yang Pecah, disadur pada awal Juni tahun 1979. Guci yang Pecah diterjemahkan oleh Dian Ekawati sekitar tahun 2008. Perbedaan
tahun penerjemahan, dari bahasa apa diterjemahkan, penggunaan diksi, kita dapat
mengetahui mengapa sebuah karya yang sama dapat diterjemahkan secara berbeda.
Dian Ekawati menggunakan nama tokoh berdasar pada teks asli yang diterjemakannya, yaitu Walter sebagai pengawas pengadilan, Adam sebagai hakim, Licht sebagai panitera, dll Sedangkan saduran oleh Suyatna Anirun menggunakan nama-nama yang lebih bersifat Indonesia, yaitu Raden Ostiri sebagai inspektur, Adam sebagai kuwu, Teja seorang juru tulis, Ny. Marto sebagai janda, dll.
Dialog pembuka. Perhatikan kata atau kalimat yang dicetak miring.
Terjemahan Dian Ekawati :
(Adam duduk dan membalut kakinya. Licht masuk)
Licht : Ya ampun, katakanlah ada apa hakim Adam! ...
Adam : ... Di lantai yang
licin ini, ada jerami tidak? ...
Licht : Kurang ajar!
Adam : ... Aku masih punya nyanyian pagi di
mulutku lalu besok aku akan meracau dan saat aku memulai hariku, Tuhan salah
meletakkan kakiku…..
Licht : Ini yang diduduki?
Adam : Tentu saja…..
Licht : Kaki palsu?
Saduran oleh Suyatna Anirun :
(Kuwu Adam duduk di
ruang dalam sambil membalut kakinya. Muncul juru tulis Teja)
Teja : Mas Kuwu, apa yang terjadi?.....
Adam : ... Pada lantai yang
licin begini, tak ada semak-semak….
Teja : Gebleg!.....
Adam : ... Aku sudah memasuki suasana pagi,
sebelum aku mulai dengan tugasku sehari-hari. Setan telah menjerat kakiku…..
Teja : Itu yang dibalut?.....
Adam : Masya Allah!
Teja : Gumpalan kaki itu.
Dari perbedaan diksi yang digunakan kita jelas bisa menebak bahwa sesungguhnya kedua penerjemah ini berbeda zaman dan berbeda pula kulturnya. Ketika tahun 1979 kehidupan bangsa Indonesia masih bersifat tradisional, pembangunan belum merata, mungkin istilah semak masih banyak digunakan. Hal yang sama juga terjadi dengan penggunaan kaki palsu dan gumpalan kaki. Pada 1979 mungkin belum ada istilah kaki palsu. Kaki palsu adalah teknologi mutakhir dari barat yang belum masuk ke Indonesia karenanya Suyatna Anirun menggunakan istilah gumpalan kaki . Sedangkan Dian Ekawati menggunakan istilah kaki palsu karena ia hidup di zaman yang telah terlanjur modern. Penggunaan Masya Allah oleh Suyatna Anirun jelas menunjukkan pengaruh agama Islam dalam masyarakat Indonesia.
Pada halaman tiga
terjemahan Dian Ekawati, ada dialog Licht
yang mengatakan “Menjijikkan melihat luka itu…” yang oleh Suyatna Anirun menjadi “Seperti
melihat genderuwo.” Istilah
genderuwo hanya ada dalam mitos masyarakat Indonesia. Suyatna Anirun sepertinya hendak
memberikan efek teatrikal pada sadurannya. Ketika kita membaca kata menjijikkan
luka itu kita akan bertanya semenjijikkan apakah luka itu. Tetapi ketika kita
melihat terjemahan Suyatna Anirun, kita langsung membayangkan sosok genderuwo yang menakutkan dalam sugesti dan ingatan kita. Unsur
imajinasi sangat terasa dalam terjemahan Suyatna Anirun. Contoh lainnya adalah, dalam terjemahan Dian Ekawati ada mantel, botak,
bermata sakit, topi segitiga, dan spektakel. Oleh Suyatna Anirun menjadi baju
surjan, gundul, belekan, peci, dan kejutan.
Atau jenis makanan seperti keju, sapi, daging asap, mentega,
sosis, dan botol-botol dalam terjemahan Dian Ekawati, menjadi panggang
ayam, pepes ikan, dan tuak dalam saduran Suyatna Anirun.
Terjemahan Guci Yang
Pecah oleh Dian Ekawati dan sadurannya oleh Suyatna Anirun (sebelumnya di alih
bahasakan oleh R.S. Hartono Martokusumo S.H.) jelas berbeda. Hal tersebut
dikarenakan beberapa alasan, yaitu : penerjemahan oleh Dian Ekawati sudah pasti
bersumber dari teks sebelumnya yang berbahasa Inggris, terjemahan oleh R.S.
Hartono Martokusumo S.H. tampaknya dari bahasa aslinya (Belanda) yang kemudian
disadur oleh Suyatna Anirun, mantan sutradara Studiklub Teater Bandung. Saduran biasanya dilakukan untuk
keperluan pementasan. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa
terjemahan dan saduran tentu berbeda. Terjemahan lebih kepada menyalin atau
memindahkan bahasa satu ke bahasa lain. Saduran
adalah hasil gubahan bebas seseorang. Oleh karena itu, saduran biasanya telah disesuaikan dengan
kultur penyadur dan untuk tujuan apa penyaduran dilakukan. Dikarenakan
perbedaan itulah maka intespretasi penerjemah tentu pula berbeda. Guci Yang Pecah terjemahan Dian Ekawati hanyalah untuk keperluan
transliterasi, sedangkan saduran oleh Suyatna Anirun ditujukan untuk suatu
pementasan. Karenanya, terjemahan Dian Ekawati lebih pendek-pendek karena harus
patuh pada teks sebelumnya sedangkan saduran Suyatna Anirun lebih panjang
karena lebih menonjolkan efek teatrikal, warna lokal, dan
berselera seni tinggi dalam diksinya. Kedua teks tsb tidak hanya mencerminkan
perkembangan bahasa dan budaya tetapi juga perubahan-perubahan sosial zaman
yang memengaruhinya. (sumber : Shvoong)
*Bagian Pertama (Part #1)
Comments
Post a Comment
Tabe !