SALAMBIVI ; Semangat Teater dari Sigi (Catatan RUTE 2016 Komunitas Polelea Sigi)


Familiarkah kita dengan istilah adat SOMPO SALAMBIVI atau VAYA SALAMBIVI ? ini adalah sebuah hukum adat pada masyarakat etnis Kaili yang mengatur tentang tata tutur agar menghindarkan masayarakatnya dari fitnah, hasutan, provokasi ataupun ghibah. Namun sayangnya, hukum adat ini mulai tergerus zaman dan bahkan sebagian masyarakat To Kaili itu sendiri telah meninggalkannya.

Ini yang mungkin menjadi kegelisahan seorang Suaib atau yang akrab disapa Ais Mangala, seorang aktor sekaligus sutradara yang saat ini menetap di desa Sibalaya, Sigi. Bersama Komunitas Polelea Sigi, ia mementaskan naskah Sompo Salambivi ini pada perhelatan RUTE (Ruang Teater) I6, 24 Desember 20I6 yang lalu di Golni, Taman Budaya Sulawesi Tengah.

Pertunjukan teater yang berlangsung kurang lebih 60 menit tersebut dipenuhi komedi satir yang menjadi warna tersendiri pada perhelatan RUTE kemaren karena mengangkat tradisi yang ternyata bisa menjadi sumber ide dalam sebuah karya pertunjukan yang bisa dikemas menarik dan memiliki banyak makna serta pengetahuan baru bagi penonton awam.

Lakon Salambivi ditulis langsung oleh sang sutradara yang secara implisit hukum adat ini berlaku pada masyarakat Kaili yang kini mulai terbawa oleh zaman modern, sehingga kini hukum adat itu perlahan dilupakan oleh sebagian masyarakat kaili. Menurut Ais, mengambil hukum adat Sompo Salambivi untuk diangkat kedalam suatu pertunjukan teater adalah untuk membangunkan hukum adat yang sudah lama tidur karena melihat latar belakang perselisihan yang terjadi di Sigi yang disebabkan oleh mulut yang menyebarkan berita sana sini. Sehingga munculah ide untuk  menghadirkan dialog-dialog kecil dalam naskah yaitu berdarah, terluka, bacok dan tembak. Konsep pertunjukan ini sendiri memiliki hasrat yang besar dari dalam diri sang sutradara yang ingin mengangkat hukum adat Salambivi ini sehingga bisa diterapkan kembali dengan mengaitkan realita gejolak sosial yang terjadi di Sigi maupun di Palu.

Inti pesan dalam lakon ini, bagaimana kita dapat menjaga mulut sehingga tidak ada lagi konflik yang terjadi dan para petinggi pun dapat menerapkan hukum adat ini agar kiranya dampaknya dirasakan oleh masyarakat Kaili itu sendiri.

Hal lain yang berbeda dari pertunjukan ini bagaimana Sutradara berhasil memadukan para aktornya dan pemusik serta menguasai arena pertunjukan dalam gedung Golni, mengingat Komunitas ini terbiasa dengan panggung atau ruang terbuka. Pertunjukan teater ini berhasil mentransfer pesan terhadap penonton, menjaga mulut sebagai upaya meminimalisir konflik yang bermula dari sebuah ucapan serta adat ini lebih menggambarkan citra To Kaili yang sebenarnya, bahwa dalam urusan berbicara pun kita punya tata caranya sendiri untuk diajar kesantunan.

Komunitas Polelea Sigi menaungi beberapa sanggar seni yang ada di Kabupaten Sigi. Komunitas ini di dirikan pada bulan juni tahun 2011 saat menjadi perwakilan Kabupaten Sigi pada Pekan Budaya dan Pariwisata di Ampana. Polelea sendiri adalah akronim dari Posiromu Lore Lembah yang berarti tempat berkumpulnya pegunungan dan lembah. Dalam proses perjalanan beberapa tahun terakhir, Komunitas Polelea Sigi sudah banyak mengikuti kegiatan atau event-event pertunjukan diantaranya Hatedu (Hari Teater Dunia) di Solo tahun 2014 dan 2015, Parade Tari Nusantara 2016 di TMII dan Ruang Teater 2016.

Kabar lainnya adalah dari gelaran RUTE ini bahwa Sigi bersiap menjadi tuan rumah untuk perhelatan Ruang Teater 20I7. Semoga Sigi mampu merumuskan serta menyiapkan diri untuk sebuah arah baru teater kita di Sulawesi Tengah.

 Penulis : Sonya

Comments

Popular Posts