EKSODUS ; sebuah catatan Neni Muhidin

Dari Catatan Neni Muhidin _ LITERASI BENCANA (22/10/2018)


Saya mencoba memahami eksodus ribuan warga Palu dan sekitarnya pasca 28/9. Kota lumpuh nyaris 3 x 24 jam. Jika lumpuh di sana juga termasuk listrik padam, itu berarti lebih dari itu.
Tetapi bukan sekadar listrik. Orang Palu bahkan mengalami krisis listrik yang datang seperti ulang tahun. Sinyal seluler juga mulai hadir di beberapa titik. Salah satunya di Mamboro (30/9). Laporan yang saya kirim di fb bahwa saya selamat, terkirim dari sana.
Jika karena logistik orang-orang lalu memutuskan eksodus juga tak begitu valid. Saya begitu yakinnya bala bantuan logistik akan segera masuk dari seluruh Indonesia. Bahkan luar negeri. Saya tidak pernah takut kelaparan atau kehausan karena tidak makan dan minum di kota ini. Meski di waktu yang bersamaan keyakinan saya itu berbanding lurus dengan kekacauan di soal-soal pendistribusian yang menimbulkan anarki dengan beragam tendensi: mereka yang bertahan secara komunal memenuhi kebutuhan primer untuk makan, minum, bensin, solar, dan yang individual karena memenuhi keinginan sekunder, bahkan tersier, yang tak masuk akal di saat kota sedang darurat.
Jika bukan karena sekadar lumpuh dan ditambah krisis listrik dan logistik, lalu apa yang bikin orang-orang eksodus? Ini bacaan saya yang lain yang saya amati dari media sosial banyak kawan. Luka, sakit, kelompok rentan yang harus diantar, diamankan, dst, adalah hal utama.
Dugaan saya yang paling kuat kenapa orang-orang eksodus adalah karena tak cukupnya informasi dari otoritas resmi bernama negara alias pemerintah. Informasi resmi adalah jaminan rasa aman yang melahirkan kepercayaan diri warga.
Jika maksud jaminan rasa aman itu terlalu abstrak, akan saya buat kongkrit. Bisa dihitung dengan jari, mungkin, ada berapa orang di Palu dan sekitarnya yang saat bencana terjadi, tahu apa itu likuifaksi. Dengar saja belum apalagi tahu. Kau bisa menemukannya di film 2012. Tapi itu cuma film. Hanya fiksi.
Yang jauh dari pantai tak tahu ada tsunami. Pun sebaliknya. Yang selamat dan dekat dari pantai, juga tak tahu ada likuifaksi. Jika tsunami tergambar di kepala, tidak demikian halnya untuk likuifaksi.
Wartawan The Jakarta Post di Palu, Ochan Sangadji menulisnya sebagai berita, tanah mengisap.
Referensi akibat gempa paling banyak hanya mengulas tsunami, kebakaran, dan tanah longsor. Sedang yang terjadi di Petobo, Balaroa, Jono Oge, dan Sibalaya bukan longsor. Empat lokasi di kawasan itu berada di dataran yang landai.
Air keluar dari dalam tanah bercampur lumpur hitam atau tanah lempung yang serupa mainan squishy. Menjadi bubur. Bangunan, menara, pohon, bahkan lapangan sepakbola di Sibalaya berpindah jauh tapi utuh. Aspal menganga tiba-tiba atau melipat kusut dirinya seperti ombak. Bersengkarut, saling tindih.
Horor itu menjalar cepat dalam hitungan jam dan menjadi lebih intensif karena dibarengi gempa-gempa susulan. Tidak ada jaminan dari siapapun. Dari manapun.
Setiap pagi, sejak hari pertama, saya bangun dari tidur yang tak pernah lelap dan cukup karena seseorang membangunkan dengan tangisan. Ibu saya yang minta dicarikan cara agar bisa segera keluar dari kota. Setiap hari saya harus bikin dia kuat dan percaya, gempa akan reda dan tidak akan terjadi likuifaksi yang sedang tidak ingin dia pahami itu.
"Sa tau likuifaksi ini di buku sd, mak. Kenapa menara Pisa di Italia itu miring." Saya menjelaskan itu padanya dan menjelaskan yang lain keesokannya, dst.
"Te ada. Sa mo ke Makassar saja. Atau Luwuk. Itu Deddy Baculu bisa urus kase nae Hercules. Atau nae oto jo ke Luwuk."
Yang bikin awalnya dia bertahan karena dia tak sanggup meninggalkan cucunya, anak-anak saya dan anak-anak dari adik saya, Eddie Muchiddin.
Belakangan, kita ikut membicarakan penelitian likuifaksi yang sudah ada sejak 2012 itu tapi tak pernah kita tahu apalagi jadi acuan kebijakan pemerintah daerah untuk mitigasi bencana dari aspek tata ruang.
Kita, menurut saya, butuh yang lebih rinci dari peta likuifaksi yang kita bicarakan itu, yang tidak sekadar menandai potensi bahayanya dari warna: sangat tinggi, tinggi/sedang, dan rendah. Jika risetnya bisa berbasis jalan, lalu kenapa harus kelurahan? Bukankah Kelurahan Petobo itu bukan hanya jalan Soeharto? Pun Balaroa yang bukan sekadar Manggis dan Perumnas.
Pasti soalnya di anggaran. Daerah harus memprioritaskan membangun sekolah, rumah sakit, aspal jalan, drainase, taman, kantor, dst. Riset tentang kebencanaan nanti sajalah. Upaya mitigasi, mengurangi risiko bencana, nanti sajalah. Kan sudah ada BPBD. Sekalipun anggarannya kecil, kan yang penting ada. Kan belum bencana.
Terlalu banyak 'kan' lalu bencana datang dan semua investasi infrastruktur itu jadi berlipat-lipat kerugiannya karena dibangun tanpa orientasi, wawasan, dan pengetahuan tentang kebencanaan. Siklus pra bencana kita isi dengan menggugurkan kewajiban-kewajiban.
Saat menuliskan catatan ini, saya membuka google dan youtube, ingin memastikan, sebelum menuliskannya, ada informasi tentang peristiwa likuifaksi yang pernah terjadi. Kegiatan yang saban hari saya lakukan sejak sinyal seluler berangsur normal dan kata kunci pencarian likuifaksi dengan kata atau lema lain yang berganti-ganti.
Banyak. Tapi tidak ada yang seperti di Palu dan Sigi. Likuifaksi yang terjadi di empat tempat itu, saya kehabisan kata.

Comments

Popular Posts