MENGENAL SESAR PALU KORO ; sebuah catatan Neni Muhidin

Dari Catatan NENI MUHIDIN - LITERASI BENCANA (19/10/2018)


Di sekolah, kita memang hanya diajar betapa strategisnya letak Indonesia karena diapit oleh dua samudera: Hindia di barat dan Pasifik di timur, juga dua benua: Asia di utara dan Australia di selatan. Wawasan kita tentang itu hanya ekonomi belaka. Saya tidak tahu dengan materi geografi yang diajarkan di sekolah-sekolah zaman now.
Makanya saya tak heran kesalahan seringkali terjadi dari hal geografi ini. Misal, menyebut Palu di Sulawesi Tenggara atau menyebut Gubernur Palu atau Wali Kota Sulawesi Tengah. Yang pertama karena geografi memang tidak dikemas menarik untuk dipelajari. Yang kedua soal akurasi wilayah administratif.
Kita tidak diajar sedari kecil bahwa Indonesia juga diapit bahkan tiga lempeng besar: Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia, dalam video pendek sebelumnya yang saya unggah, divisualisasikan sebagai yang suka tabrakan, menggerakkan patahan, dan menciptakan tidak saja gunung-gunung berapi tetapi juga gempa bumi yang bisa memicu terjadinya tsunami, likuifaksi, tanah longsor. Bangunan rubuh, seisi kota lumpuh.
Setelah lempeng, kali ini sesar. Lebih khusus lagi Sesar Palu Koro. Saya selalu ingin memulai apa-apa dari aspek bahasa. Sesar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah verba atau kata kerja yang artinya geser. Palu Koro terdiri atas dua nama tempat/lokus. Palu adalah ngarai, lembah yang berada di hilir dan dikelilingi teluk, Koro adalah hulu di pedalaman selatan. Mereka yang tinggal di Kulawi raya, Kabupaten Sigi, menyebut Koro untuk sungai lebar berarus deras yang mengalir jauh dari hulunya di Napu, Poso, melewati selatan Sigi, hingga berhilir di Tikke, Mamuju Utara, sebelum akhirnya bercampur asin laut Selat Makassar.


Koro adalah Sungai Lariang!
Dalam peta detil Pulau Sulawesi, sesar Palu Koro ditandai oleh sebuah garis memanjang di bagian utara Selat Makassar, turun ke selatan, dan berbelok masuk ke mulut Teluk Palu dan membelah timur dan barat kota itu, hingga ke Teluk Bone. Ada belokan yang tampak dari garis itu ke arah timur. Disebut Matano karena garisnya mengarah ke Danau Matano di Malili, perbatasan Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan.
Di sepanjang garis itu, saya baru tahu ada istilah segmen atau bagian yang lebih kecil dari sesar. Dalam istilah awam disebut akar, urat, garis, dst yang menjadi akrab di telinga sejak peristiwa.
Ada empat segmen di Sesar Palu Koro yang saya konfirmasi ke BMKG di Balaroa, Palu, dari peta Active Fault in Central Celebes (Irsyam, 2016), yakni segmen Selat Makassar, segmen Palu, segmen Saluki, dan segmen Moa. Yang terakhir itu, Moa, adalah nama desa di Kecamatan Kulawi Selatan yang menjadi batas antara Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso. Ada taman baca di sana yang diinisiasi NEMU BUKU dan tenaga kesehatan desa Melvin Sawedu di rumah kepala desa di desa pedalaman itu.
Beruntunglah saya karena berkesempatan mengetahui, sekaligus memahami penanda utama di permukaan retakan (surface rupture) akibat gempa bumi 7.4 SR yang terjadi pada 28/9. Permukaan retakan akibat gempa itu menjadi semacam candradimuka bagi para peneliti gempa bumi.
Dua segmen Sesar Palu Koro yang bergerak pada 28/9 itu adalah segmen Palu dan segmen Saluki, yang ditemukan permukaan retakannya (11/10) oleh tim dari Pusat Gempa Nasional (Pusgen) Kemenpupera. Segmen Palu ditemukan tidak jauh dari pertigaan antara jalan poros Desa Pevunu, Dolo Barat, dan akses jalan ke Dusun Kalukutinggu. Retakannya melintang di kaki rumah milik keluarga Daeng Pawindu yang telah jadi cagar budaya itu. Retakannya menggeser aspal dan memindah letak rumah dari posisi sebelumnya sejauh 5 meter lebih!

Segmen Saluki ditemukan dekat dari Desa Omu, Kecamatan Gumbasa, tak jauh dari batas kecamatan itu dengan Kecamatan Kulawi. Kedua segmen itu, Palu dan Saluki, berada di Kabupaten Sigi.
Ada banyak garis serupa yang lokal dalam peta patahan di Sulawesi Tengah selain Palu Koro dan Matano. Garis yang tampak pendek meski cerita tentang peristiwa atas garis-garis yang serupa lipan merah itu tentu panjang. Ada Patahan Poso, Loa, Weluki, Palolo, Besoa, Bada, Sausu, Tokararu, hingga ke timur di Batui dan Balantak. Masing-masing dari garis merah yang namanya diambil dari nama dusun, desa, atau kecamatan itu dilengkapi dengan informasi jarak gerakannya dalam setahun dan prediksi besaran skala richter-nya.
Tidak perlu terlalu resah. Buat saya, harapannya kita, yang memijak tanah tempat patahan berada di bawahnya, harus tahu dan menyikapinya dengan ilmu dan upaya untuk bertindak mengurangi risiko bencana. Dan yang utama, selalu mengingatNYA dan meminta doa keselamatan kepadaNYA, Yang Maha Kuasa.
Aamin ya rabbal alamin.

(Dua foto lansekap permukaan retakan dalam sudut berbeda itu lokasinya di Desa Pevunu. Terima kasih buat Fajar, pilot drone Ekspedisi Palu Koro untuk foto udaranya)

Comments

Popular Posts