MELAWAN LUPA ; sebuah catatan Neni Muhidin

Dari Catatan Neni Muhidin - LIERASI BENCANA (25/10/2018)

Peristiwa 28 September itu (semoga) memberi kita kesadaran baru, bencana ternyata menjadi urusan setiap orang dan bukan hanya urusan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta sana atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di provinsi, kabupaten, dan kota. Naif jika hanya berharap dari mereka karena uang negara tidak diprioritaskan untuk mengurusi cincin api yang melingkar di jari-jari tangan (gunung berapi) dan kaki (patahan bumi) bangsa ini.
Saya ulangi sekali lagi. Bencana adalah urusan setiap orang!
Bencana, terlebih bencana alam gempa bumi yang membikin tsunami dan likuifaksi seperti yang baru saja kita alami itu, tidak pilih-pilih: bayi, balita, anak mungil, remaja, dewasa, lansia, perempuan, ibu hamil, lelaki, jelek, cantik, gagah, lucu, serius, miskin, kaya, seniman, pejabat, pegawai negeri, militer, polisi, apapun profesimu, pilihan politikmu, klub sepakbola favorit, agamamu, rumah ibadah, semuanya. Bencana datang dan tidak merasa perlu menanyakan semua hal di atas itu. Merenggut nyawa, membuat situasi jadi darurat pada semua yang selamat. Akan berlaku di situasi darurat itu ketidakpastian berkawin dengan kecemasan.
Teori menghadapi dampak gempa bumi di peristiwa barusan juga tak melulu bisa diterapkan. Likuifaksi bikin upaya berlindung di bawah meja atau berkumpul di ruang terbuka saat gempa memberi jeda, jadi tumpul sebagai praktik. Pun kesimpulan air laut surut jelang tsunami menerjang. Hanya tinggal kiat.
Namun kesadaran baru ini harapannya akan selalu hidup di alam bawah sadar kita semua, di suatu masa, kita telah melewatinya sebagai peristiwa. Saya bahkan bersyukur pernah melewati tiga keajaiban semesta saat berada di Palu: menyentuh debu letusan Gunung Colo yang serupa salju menyembur dari Pulau Una-Una pada 23 Juli 1983, Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016, dan peristiwa gempa bumi 7,4 SR yang umurnya belum juga sebulan.
Di peristiwa yang terakhir itu, syukur di sana ingin saya maknai sebagai kesempatan melanjutkan hidup. Juga tentu pada saudara, teman, dan semua yang mengalami, merasakan sendiri, yang membaca tulisan saya ini, tanah berguncang hebat, menimbulkan kerusakan di mana-mana, meninggalkan rasa kehilangan yang panjang.
Saya mengiyakan dalam hati apa yang kawan saya Rahmadiyah Tria Gayathri bilang. Kita yang hidup, selamat dari peristiwa itu, punya tanggung jawab besar atas kemanusiaan untuk mencatatkan. Scripta manen, verba volant. Yang tercatat abadi, yang bicara dibawa angin. Gempa bumi memiliki siklus, seperti bagaimana bencana dimaknai. Ada masa sebelum (pra) bencana terjadi, saat bencana (tanggap darurat), dan setelah (pasca) bencana. Yang kita tahu dan maknai hanya satu dari siklus itu. Tanggap darurat.
Besok adalah hari terakhir dari siklus kedua, tanggap darurat, dan setelahnya kita memasuki babak baru, pasca, dari siklus yang ditetapkan pemerintah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Bukan tak akan ada soal di sana karena kita semua belum punya pengalaman melewatinya. Berharap di tahap ketiga itu, tidak terjadi bencana baru yang mengintai: pengangguran terbuka, kelaparan yang tak tampak, mental mengharap bantuan, konflik pertanahan, kompensasi, dan korupsi.
Kata semoga di paragraf pembuka yang sengaja saya taruh dalam tanda kurung itu adalah ingatan, juga harapan, kita mesti meningkatkan kemampuan, kapasitas kita, minimal di tingkat keluarga, di rumah, di sekeliling tempat kita tinggal atau bekerja. Kesadaran tentang ruang. Bencana barusan bikin saya sadar betapa tetangga adalah sebenar-benarnya keluarga. Bencana bikin kita jadi saling menyapa.
Pemerintah masih mengurusi pasca bencana. Saat segalanya pulih, meski tidak lantas normal seperti sedia kala, di saat yang bersamaan sebagian kita mestinya bisa inisiatif dari tingkat paling kecil dari sistem sosial, keluarga, yang berhimpun dalam rukun tetangga atau dusun jika desa.
Yang bisa dibuat dalam himpunan itu adalah mengenal dengan baik ruang (kompleks, dusun, dst) juga orang-orang di dalam ruang itu, menghitung sendiri risiko dari sesuatu yang terberi, hidup di atas patahan yang saat bergerak menimbulkan gempa bumi. Juga menghitung sendiri kerentanan yang juga terberi, sembari meningkatkan kemampuan diri dan komunitas dengan pengetahuan.
Kita hanya boleh berharap dalam doa. Gempa ya gempa saja. Asal skalanya tidak besar dan bergerak jauh di kedalaman kerak bumi sana. Aamin.
Saya punya contoh baik yang pernah dilakukan warga di bantaran Sungai Palu, tepatnya di Ujuna. Pernah ada di kelurahan itu inisiatif di tingkat rukun tetangga membuat sistem peringatan dini sederhana, yang a la mereka, dengan sumber daya yang mereka punya. Mengecat tembok bantaran dalam tiga warna, hijau di dasar, kuning di tengah, dan merah di bagian permukaan. Seperti simbol rasta. Artistik juga. Tiga warna itu untuk mengukur ketinggian air untuk menentukan status kewaspadaan. Seiring waktu, air menggerus warna-warni di tembok bantaran sungai itu.
(Semoga) kesadaran baru yang saya maksud dalam tulisan ini tidak serupa pudarnya warna-warni di tembok bantaran sungai itu, digerus air ludah kita sendiri yang hanya membicarakannya setelah peristiwa, membuangnya, dan melupakannya seiring waktu.
Saya ingin mengutip Mirek, tokoh di novel Milan Kundera, Kitab Lupa dan Gelak Tawa. Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.
Ya, yang kita lawan adalah kuasa yang selalu bertahta dalam diri kita:
Pelupa!

Comments

Popular Posts