PALU ; sebuah catatan Neni Muhidin

Jika ada kota yang paling representatif untuk menjelaskan ke-Indonesia-an, saya akan segera bilang Palu. Bukan karena saya lahir dan sampai sekarang tinggal di kota yang disebut Parlow oleh pelaut David Woodard di medio abad 18 itu. Jumlah populasinya yang kecil sebagai ibukota provinsi, membuat ke-Indonesia-an yang saya maksud menjadi mudah kita rasakan, memahami keberagaman penghuninya, dan mengalami melting pot di setiap ruang publik, titik bertemunya kebinekaan itu.
Cobalah simak langgam orang Palu saat bercakap. Saya sulit menjelaskan detilnya. Dengan latar fisik yang tampak berbeda, juga bahkan karena pengaruh aksen bahasa ibu, kau akan tetap menemukan benang merahnya.
Dari faktor letak di peta saja, kita akan mahfum. Palu berada di tengah, di antara Balikpapan, Ujung Pandang, Mamuju dan Kendari, Manado dan Gorontalo, juga Luwuk. Dari sana kita akan paham, bersama etnis Kaili yang mendiami lembahnya, kota itu tumbuh bersama etnis-etnis lain yang berasal dari kota-kota tetangga: Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Banjar, Banggai, Saluan, Minahasa, dst-nya yang berdekatan.
Saat kau membentang peta Indonesia dan melipatnya, secara horisontal, bukankah Palu memang membagi timur dan barat Nusantara? Bagi lagi secara vertikal. Sama. Palu membagi utara dan selatan.
Juga Jawa, Madura, Sunda, Bali, Lombok, Flores, Timor, Ternate, Ambon, Papua, dan Minangkabau. Paguyubannya ada dan bersimbiosa dengan gerak kota. Yang terakhir itu bahkan mempengaruhi tidak saja kuliner tapi juga bahkan agama. Islam diperkenalkan untuk kali pertama di Palu pada abad 17 oleh Abdullah Raqie dari Sumatera Barat. Datuk -orang Palu melafalnya dengan Dato Karama.
Dari negeri-negeri jauh, Palu juga didatangi oleh gelombang migrasi Tionghoa dan Arab. Andai Guru Tua tak mampir dari Yaman dan membuka sekolah Alkhairaat-nya, sulit membayangkan akulturasi jemaah dan etnis yang beragam itu sekarang. Sayyid Idrus Salim Aljufri disanding bersama Mutiara, nama pemberian Soekarno pada 1957 untuk bandara yang awalnya bernama Masovu atau berdebu. Guru Tua telah meletakkan pondasi kebinekaan itu melalui pendidikan.
Palu diuntungkan secara letak. Sebelum 1978, Palu hanyalah satu dari kecamatan di Kabupaten Donggala. Masa kejayaan Donggala sebagai kota pelabuhan, membuat di luar sana, orang-orang memang lebih mengenal Donggala daripada Palu. Palu adalah anak sulung yang dilahirkan Donggala. Anak keduanya Parigi Moutong, dan si bungsu Sigi. Jika Pantai Barat mekar, itu berarti akan jadi anak keempat yang dilahirkan Donggala. Ada cerita lucu tentang ini yang telah jadi wacana publik. Seumpama ibu, Donggala ini bisa mati melahirkan. Banawa ibukota Donggala memang berangsur sepi saat pelabuhan Pantoloan yang berada di wilayah administrasi Palu mulai beroperasi di akhir era 70an.
Selain pelabuhan, sejarah Donggala identik kopra dan sapi. Selain debu, Palu identik teluk dan matahari: dua hal yang di enam hari terakhir musibah ini, ikut menguji. Yang teluk tentang kenangan, yang matahari tentang ketahanan di pengungsian.

Comments

Popular Posts