Twilight Memory (Part 1)
Penyintas bencana di Kelurahan Petobo (Dok. BBC indonesia) |
Sejak gempa, tsunami dan likuifaksi melanda Palu
dan daerah sekitarnya (Kab. Donggala, Kab Sigi dan
sebagian Kab. Parimo) di Sulawesi
Tengah pada 28 September lalu, dalam kurun waktu 2 minggu
sejak bencana terjadi lebih dari
2.000 jenazah telah ditemukan. Namun, jumlah pasti korban
meninggal dunia amat mungkin tidak akan diketahui mengingat sejumlah daerah
permukiman tersapu tsunami dan likuifaksi sehingga mengubur banyak orang. Bahkan diawal tahun 2019 ini masih ada beberapa jasad korban tsunami
ditemukan dalam reruntuhan bangunan.
Mengingat kembali kronologis
malam itu
Sementara itu tidak jauh dari bawah Jembatan Kuning Palu IV dibangun banyak sou (bangunan panggung terbuat dari kayu beratapkan rumbia) dengan ukuran yang tidak terlalu besar berdiri rapi menjadi sebuah kampung kecil yang diberi nama Kampung Kaili menjadi stand pameran dan penjualan aneka kuliner tradisional masyarakat Kaili perwakilan kelurahan dari 8 Kecamatan. Banyak ibu-ibu dari masing-masing Kelurahan tengah mempersiapkan diri untuk menata stand mereka menjadi sedap dipandang mata karena nantinya akan ditinjau langsung oleh Walikota dan beberapa pejabat daerah, tidak sedikit dari para ibu tersebut membawa anak-anak mereka yang usianya beragam dari bayi, batita, balita hingga usia sekolah.
Di Sigi pun suasananya
lain lagi, sekitar
16 kilometer sebelah selatan dari pesisir Kota Palu, para remaja dari salah satu SMA Negeri di Palu tengah melaksanakan acara Bible Camp di sebuah Gereja di desa Jono
Oge Kab. Sigi. Rencananya malam itu mereka akan bersantap bersama,
mengadakan permainan kelompok, mengkaji
Alkitab dan pemutaran film.
Gempa
mengguncang
Tepat
pukul 18.02 Wita, bencana pun terjadi. Tanah seketika berguncang kuat,
jalan-jalan
terbelah dan bergulung seperti ombak, beberapa bangunan ambruk
seketika. Gempa dengan kekuatan 7,4 SR telah melanda Sulawesi Tengah yang
berpusat di Sirenja Kab. Donggala. Gempa ini bukanlah
yang pertama, tapi inilah yang terkuat. Bahkan
di hari itu tepatnya Jumat, 28 September 2018 sejak pagi telah terjadi beberapa
gempa dengan kekuatan 2 hingga 5 SR.
Sumber : BBC Indonesia |
Di
Kelurahan Petobo, tanah seketika berubah seperti lumpur hisap. Di kawasan lain,
sejumlah penyintas mengatakan mereka dikejar gelombang lumpur yang melahap
bangunan dan menyeret manusia ke dalamnya. Gereja tempat lebih dari 80 pelajar
sedang mengikuti kajian Alkitab, bergerak sejauh 2 kilometer dari tempat
asalnya.
18.05
WITA
Lima
menit kemudian, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis
peringatan tsunami. Lembaga itu mewanti-wanti gelombang laut akan mencapai 0,5
sampai tiga meter. Antara tiga hingga enam menit berikutnya Kota Palu diterjang
ombak setinggi enam meter. Masyarakat setempat hanya punya waktu 10 menit, dari saat
gempa mengguncang sampai tsunami menerpa, untuk melarikan diri ke tempat
tinggi. Masyarakat berlarian menyelamatkan diri, gelombang pun mengejar. Gempa
tersebut ternyata juga merusak jaringan listrik dan komunikasi. Itu artinya
banyak orang, tidak menerima peringatan tsunami.
Sumber : BBC Indonesia |
Indonesia
sebenarnya punya sistem deteksi dini tsunami, namun "sangat
terbatas". Kepala
Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, mengatakan bahwa dari 170 sensor gempa yang dimiliki BMKG, anggaran pemeliharaan
hanya ada untuk 70 sensor. Bahkan, perangkat pemantau ombak terdekat dengan Palu,
yang mendeteksi tsunami ini, berada sejauh 200 kilometer. Dan perangkat itu
hanya bisa mendeteksi kenaikan ombak setinggi 6 cm, yang saat itu dinilai "tidak
signifikan".
Comments
Post a Comment
Tabe !