MAITAMO RAEGO : Warisan Nyanyian Leluhur dari Tana Kulawi

Tari NOBALOVO - S.S Polelea Kab. Sigi
(Parade Tari Daerah Tkt. Propinsi)
Menurut masyarakat setempat (totua ngata), raego adalah nyanyian leluhur dari para dewata untuk memanggil manusia agar mau menyembah dan bersyukur serta bertobat padanya.  Secara umum diartikan, sebagai sebuah tarian berkelompok baik berpasangan ataupun tidak, tanpa iringan dan hanya dilakukan pada saat pelaksanaan upacara-upacara adat. Tarian ini menjadi salah satu bagian penting pada upacara-upacara adat di Kulawi seperti : vunca ada’ mpae (Upacara Panen), Powutu (Upacara Kematian), Potapahi Tana  (upacara cuci bumi/tolak bala) ataupun Halia Todea (Upacara Perkawinan).   



Raego di Masa Toma I Rengke
Raego telah dan berkembang di Kulawi jauh sebelum agama Islam dan Kristen mulai masuk dan menyebar di wilayah adat ini.  Saat itu, masyarakatnya lebih memilih untuk menyembah kekuatan alam yang dianggap sebagai pemilik semesta, sehingga jika terjadi suatu kegiatan adat dikampung maka akan dilaksanakan raego sebagai bentuk penghormatan, penyembahan dan rasa syukur kepada pemilik alam berupa nyanyian bersahutan dengan syair-syair yang memiliki makna kuat dengan menggunakan bahasa Kulawi kuno. Ketika agama mulai masuk di wilayah keadatan Kulawi sekitar abad ke 17, raego sedikit demi sedikit mulai berkurang dilakukan karena ada beberapa masyarakat menganggap bahwa itu tidak pantas lagi untuk dilakukan karena hanya ada Tuhan yang patut untuk disembah.  


Raego Kulawi pada Upacara Adat
Potapahi Tana, Boladangko
Namun pada tahun 1952, raego pun kembali dilaksanakan dibeberapa ngata (desa) yang menjadi wilayah keadatan Kulawi setelah beberapa tokoh adat dan agama memperbolehkan untuk melaksanakan raego sebagai satu bentuk ucapan syukur dan bahagia serta sebagai upaya menjaga dan melestarikan warisan leluhur yang kala itu disertai dengan pembangunan sebuah lobo (rumah adat masyarakat Kulawi).  Menariknya, disetiap ngata atau desa hanya boleh terdapat satu lobo saja, jika ada bangunan lainnya yang hampir menyerupai lobo itu disebut bantaya.  Perbedaannya adalah pada letak tiang pancang serta tangga.  Jika lobo memiliki 6 tiang pancang yang berdiri kokoh dengan model bertingkat, dimana ditingkatan bawah (lantai dasar lobo) ditempati oleh bangsawan, magau, tamu penting ngata, sementara tingkatan atasnya diduduki oleh tina ngatatopo raegotopo gima dan tokoh masyarakat juga agama. Sementera itu bantaya hanya memiliki 4 tiang pancang dengan model bangunan yang juga bertingkat.  Selain itu, perbedaan keduanya dapat dilihat dari bentuk tangga.  Jika lobo memiliki dua tangga muka dan belakang, maka bantaya hanya memiliki satu tangga saja.
Pada proses pembangunan/pembuatan loboraego dilakukan di luar bangunan tepat didepan tangga masuk, kemudian lobo dikelilingi dari arah kanan menuju kiri hingga lantunan syair raego berakhir.  Sementarabantaya, digunakan ketika acara perkawinan atau rembug adat, para topo raego menari didalam bangunanbantaya tersebut.

Raego Mendunia, salah satu musisi Amerika Arringthon turut serta
pada workshop Inolu-Raego (Festival Danau Lindu, 2013)
Raego telah ada dan menjadi bagian dalam kehidupan keadatan Kulawi hingga kini masih terus lestarikan dipertahankan.  Ketika tahun 2007 Kulawi dimekarkan menjadi 4 kecamatan, 
secara tidak langsung penyebaran raego kulawi akhirnya terbawa dan tersebar di Lindu dan Pipikoro.  Tidak terlalu banyak perbedaan antara raego tersebut, hanya pada lirik dan aksen bahasa.  Hal ini dikarenakan etnis moma berbeda bahasa dan aksen dengan etnis tado begitupun dengan suku yang ada di Pipikoro. Masyarakat etnis moma mengajarkan dan memperkenalkan raego ini kepada masayarakat di Lindu dan di Pipikoro, namun seiring berjalannya waktu sempat terjadi permasalahan claim atau kepemilikan raego itu sendiri.  Ketika masyarakat Lindu dan Pipikoro menampilkan tarian raego  ini ke sebuah event besar berskala nasional dengan mengatasnamakan keaslian miliki mereka, namun masyarakat Kulawi khususnya etnis moma tetap meyakinkan bahwa raego itu milik asli mereka yang diwariskan oleh leluhur (lamoa) sejak ± 200 tahun yang silam. Namun masalah kepemilikan yang terjadi di Kecamatan Kulawi, Kecamatan Lindu dan Kecamatan Pipikoro bahwa raego tetap menjadi milik dan kebanggaan warisan budaya masyarakat Kulawi secara umum.

Comments

  1. Tabeee... Sdikit saran ttg tulisan ini, terlalu sempit kalau kacamata yg kita pakai dengan melihat rego hanya sebagai sebuah tarian saja karna didalam ritual rego bkan hanya unsur gerak saja yg ada tapi syair serta nyanyian jg mnyertai didlamnya. Begitupun ttg perspektif jika rego lebih condong sbagai persembahan k Dewata, karna Makna Sesungguhnya dari "PUE LAMOA" adalah TUHAN YG MAHA SEGALANYA yaitu Tuhan yg Esa, sy sarankn juga penulis sbelum mnulis artikel2 brikutnya ttg Rego baiknya selami lebih dalam lagi.
    Tabeee

    ReplyDelete

Post a Comment

Tabe !

Popular Posts