MEMOAR LEKATU ; Jangan rampas kenangan kami !

Dipentaskan pada Festival Bunyi Bungi, Sigi (16 Februari 2013)


MEMOAR LEKATU (Pertunjukan Monolog Tari - Festival Bunyi Bungi, 2013)


Memori sebuah kata yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah kesadaran akan pengalaman masa lampau yang hidup kembali (ingatan).  Memori bisa membuat seseorang kembali teringat akan masa lalunya, entah itu kemudian membuatnya bahagia atau bahkan terpuruk dalam kesedihan.
Ketika sebuah rasa ketakutan atas memori atau ingatan selalu hadir dalam diri anda, yang terjadi adalah traumatik akan satu peristiwa sehingga membuat anda tidak ingin mengingat sesuatu itu ataupun mendatangi kembali tempat tersebut.
MEMOAR LEKATU (Pertunjukan Monolog Tari - Festival Bunyi Bungi, 2013)
Memori di masa kecil ternyata tidak mampu memberikan sebuah keberanian yang besar untuk kembali ke sebuah tempat dimana dahulu merasa bahagia, tertawa tanpa beban, bermain bersama teman-teman, berlarian dengan bebas, menikmati dinginnya hawa dan bermain air sepuasnya. 
Dahulu tempat ini begitu menyenangkan dan menenangkan, walaupun dipenuhi pepohonan, serta ilalang juga tanaman-tanaman liar namun tetap terkesan tidak menyeramkan untuk siapa saja yang mendatanginya.  Tempat ini menjadi berkumpulnya warga di kampung ini, berada ri bivi nu ngata, tempat ini selalu ramai dengan warga yang melakukan aktivitas keseharian mereka disini, mandi, berkebun, memandikan kuda dan sapi, memberi makan kambing, tempat dimana para ibu-ibu ataupun gadis-gadis mencuci, dan tentunya tempat kami menghabiskan sisa hari bermain-main sepuasnya.  Sebuah tempat menyenangkan di masa kecil itu bernama bungi tava nu juka atau lebih sering disebut bungi lekatu.  Sebuah surga bermain bagi kami dulunya dei nu ngata.
Bungi kini menjadi tempat yang dipenuhi rasa ketakutan dan setiap berada disini ketenangan yang dulu ada berganti dengan kecemasan. Berjalan diantara kegelisahan, menyusuri tempat yang dulunya tenang.  Suara-suara air seolah kini terdengar seperti suara panah yang akan dilesatkan dari busurnya.  Keceriaan dan keriangan diantara rerumputan serta tanaman liar berubah menjadi rasa was-was seolah-olah yang terdengar suara kaki orang-orang berlarian mengejar musuh atau untuk menyelamatkan diri.  Traumatik pada telinga ini akan dentuman dum-dum yang setiap saat berbunyi, membuatku tak ingin lagi ke tempat ini.  Tempat yang dulunya menjadi surga dimasa kecil, berubah menjadi ketakutan dikarenakan konflik yang tak berkesudahan, yang tak pernah diketahui dimana awal dan akhirnya. Perkelahian antar kampung membuat tempat ini selalu menjadi sasaran persembunyian orang-orang yang sudah tak kenal lagi apa artinya “sampesuvu….nosarara…maliuntinuvu”.  Saudara seolah telah menjadi musuh yang harus dibinasakan, tak ada lagi rasa kekerabatan.  Perkelahian itu membuat semuanya berubah.
MEMOAR LEKATU
(Pertunjukan Monolog Tari - Festival Bunyi Bungi, 2013)
Saya merindukan bungi lekatu yang dulu menjadi tempat untukku bermain….berlari… bergerak bebas…menari dengan riang….karena semua tubuhku terasa hidup ditempat ini dan hampir setengah perjalananku, menikmati tempat ini.  Disini banyak gerak-gerak yang telah kulihat dari kebiasaan orang-orang sehari-harinya.  Bungi hi ra apunai nu makumpu.
1.      Konsep Garapan Tari
Bagaimana memori berpengaruh dalam kehidupan manusia? Bukankah sejarah manusia terbentuk dari lempengan ingatan akan masa silam? Itulah yang saat ini sedang hadir dalam pemikiran koreografer, ingin menafsirkan upaya manusia untuk meneguhkan memori sebagai bagian terpenting dalam kehidupannya.
Memori turut mendefinisikan masa lalu, masa kini dan masa depan.  Konsep karya dibagi menjadi tiga mewakili tiga masa.  Tubuh penari seolah tengah menari dengan masa lalunya. Seperti kembali menjadi seorang anak kecil yang asik bermain dengan imajinasinya, menikmati suasana tempat dengan bebas, melompat kegirangan, menari dengan mimik wajah bahagia, seolah tak ada ketakutan dalam dirinya.  Fragmen berikutnya, menggali memori suka dan duka.  Nuansa riang, bercanda dan bermain kemudian menjelma menjadi bentuk kegelisahan dengan berlari-lari seolah menghindar ingin menjauh dari tempat tersebut. 
Tubuh penari tampil dalam bahasa gerak yang ritmis dan menjelajah, dengan konsepsi tubuhtrembling (gemetar) pada konsepsi gerak dasar balia.  Menjadikan tubuh penari memiliki ego-sentris yang kuat pada memori ruang.
2.      Konsep Garapan Monolog
Dialog dan tubuh menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam menyampaikan pesan cerita.  Musik sebagai pengiring suasana menjadi salah satu spektakel selain dialog untuk menghadirkan teror bagi penonton. Penunjang lain dalam garapan ini adalah setting artistik minimalis dan imajiner.  Hal ini untuk memancing daya hayal penonton untuk masuk kedalam setiap adegan yang dihadirkan oleh sang aktor.

3.      Ide Garapan
Membayangkan akan masa lalu yang indah menjadi sebuah kenangan manis yang tak pernah terlupakan, apalagi dimasa kanak-kanak. Bermain……saling kejar-mengejar, bersembunyi, bergembira adalah sebuah gambaran, dimana hal itu akan terus dikenang bagi setiap manusia. Bungi, disini kami tumbuh.  Bungi, disini kami dekat dengan alam. Tempat dimana aktifitas para warga. Namun disisi lain bayangan-bayangan indah itupun berubah menjadi mimpi-mimpi menakutkan.  Keceriaan itu hilang berganti rasa kecemasan, ketakutan akan adanya bahaya yang datang tiba-tiba.
Bungi tava nu juka atau lebih sering disebut bungi lekatu, tempat kami bersenda gurau itu telah hilang dan berubah… konflik yang tak pernah berakhir memaksa ingatan untuk menghapus kebahagiaan itu. Bungi, kini dijadikan persembunyian  bagi mereka yang tak memiliki rasa kasih sayang.
Koreografer-Penari : Iin Ainar Lawide, Monolog : Ipin Cevin, Pemusik : Ichsanul Amal, Uun Haiilee, Deita Dumalang, Unul Nashir Umar

Comments

Popular Posts