Apakabar Kepekaan Kita Terhadap Seniman Tradisi?*
Tidak banyak seniman tradisi yang sempat meregenarasikan bakat dan karyanya. Tetapi lebih tidak banyak lagi perhatian Pemerintah Daerah kita terhadapat keberlangsungan kesenian tradisi melalui seniman (pelaku-pelakunya). Betapa kita sadar bahwa kehidupan akan terus berjalan dan jika tidak dijaga, dipelihara dan diwariskan maka akan ada bagian kebudayaan yang hilang. Sementara melihat itu, kita belum sepenuhnya mengerahkan diri (baca : Pemerintah). Para pelaku seni tradisi ini sejak awal kemunculannya berjuang sendiri mennghasilkan karya, menghantarkannya dari satu kampung ke kampung lain agar dikenal dan dapat terangsang yang lain untuk mengenalnya. Bahkan hingga dititik rawan kehidupan mereka, para pelaku seni tradisi ini tak pernah menuntut apapun yang berlebihan kecuali adalah permintaan kita untuk meneruskan karyanya pada generasi berikutnya sebagai upaya penyelamatan.
"Penyelamatan" ......penyelamatan generasi sangat diperlukan saat ini. Generasi-generasi pop culture, gadget freak dan yang terbaru selfie candid merebak sedikit demi sedikit tanpa ada rasa kepekaan terhadap tradisinya. Bukan salah mereka sepenuhnya, mungkin mereka saja yang tidak dibekali apa-apa selama ini baik itu dibangku sekolah maupun akademisinya.
Miris, ketika melihat seorang siswa melihat setumpuk alat musik tradisi (sebut : Gamba-gamba - Kakula Kayu) yang kemudian dengan lantangnya dia berkata "Wah, kulintangnya bagus". Satu contoh dari beberapa kejadian lainnya. Sekali lagi, ini bukan salah mereka ! Karena kita mungkin lupa untuk menginformasikan (mewariskan) informasi berharga ini kepada mereka. Pertanyaannya kenapa KITA bisa lupa?
Pendidikan. Kurikulum kita masih merunut secara nasional berdasarkan kurikulum pusat yang 90 % didalamnya lebih banyak berisi muatan Java, Andalas, Borneo..berbicara Celebes? hanya sedikit terlebih lagi Sulawesi Tengah. Dan anehnya, Pemerintah Daerah kita seolah manut saja dengan sistem kurikulum tersebut tanpa pengimbangan untuk wawasan budaya lokal atau muatan lokal. Oke, sekarang di beberapa sekolah telah ada muatan lokal dan ada pelajaran Seni Budaya. Nah, pertanyaan lain muncul lagi, apa benar para siswa mendapatkan porsi wawasan lokatif dari para pengajarnya? BELUM SEPENUHNYA.
Bagaimana jika sekarang kita sebut nama YASAMOMI, KATIJAH, AKSI, MUSUDERO? Apa mereka mengetahuinya? mengenal profesi mereka? mengenal karya-karya mereka?
Sekali lagi ini bukan kesalahan mereka sebagai siswa, tapi kesadaran KITA yang belum sampai pada hal itu, kesadaran yang mungkin tidak akan pernah muncul. Kesadaran akan merasa memiliki tradisi tersebut, kesadaran akan adanya keberlangsungan kehidupan yang perlu diwariskan bersifat lokatif tadi. Dimana letak kesadaran itu? Karena memang tidak ada yang mau memikirkannya.
Comments
Post a Comment
Tabe !