Perempuan Lokal Bicara
Meskipun setiap tahun kita memperingati
Hari Perempuan Internasional (HPI), indikasi diskriminasi dan stereotyping terus
saja berlangsung di semua kebudayaan dan komunitas di Indonesia. Pemerintahan SBY justru sibuk mengurus soal perempuan
bersikap dan berpakaian, membiarkan pro-kontra berkepanjangan mengenai
peraturan dan perundangan yang bertendensi mengontrol integritas tubuh dan
ruang gerak perempuan (Maria Hartiningsih, 2009). Contoh, terkait masalah kehadiran perempuan dalam seni
pertunjukan, khususnya tari di Indonesia, senantiasa bersentuhan langsung
dengan sistem normatif dan nilai yang berlaku di masyarakat.
Dalam masyarakat Jawa, sistem norma dan nilai itu mempengaruhi kedudukan, peran
dan tingkah laku perempuan, khususnya dalam seni pertunjukan tari. Di satu sisi
mengekang perempuan sehingga berdampak pada sempitnya akses peran perempuan
dalam aktivitas seni. Di sisi lain, kehadiran penari perempuan menjadi pusat
hiburan khususnya bagi kaum laki-laki pada masyarakat lampau.
Secara umum kedudukan perempuan dalam
masyarakat tradisi dapat dilihat dari konsep Serat Candrarini sebagaimana
dinyatakan Luviani (2004) bahwa perempuan harus setia pada laki-laki, rela
dimadu, mencintai sesama, trampil pada pekerjaan wanita, pandai berdandan dan
merawat diri, sederhana, pandai melayani kehendak laki-laki, menaruh perhatian
kepada mertua serta gemar membaca buku-buku yang bersifat nasehat.
Kecantikan dan kemolekan perempuan dalam
seni pertunjukan tari, pada umumnya masih menjadi prioritas perhatian para
apresiator (baca: kaum laki-laki). Di lingkungan kraton misalnya, para penari
Srimpi disetarakan dengan kehormatan benda-benda pusaka seperti mahkota,
payung, keris, tombak dan lain-lain.
Sebagai benda pusaka, nilai-nilai
keperempuannya tentu harus terpilih karena dalam fungsinya akan dipakai raja
untuk menambah kewibawaan dan keagungannya yaitu sebagai selir. Pamardi (Kelola, 1996)
dalam “Antara Tuhan, Mitologi Dan Legitimasi dalam Tari Srimpi” misalnya menggambarkan bahwa aturan-aturan pementasan Tari Srimpi
sebagai tarian upacara di kraton sangat ketat. Para penari harus dalam keadaan
suci, tidak dalam keadaan menstruasi. Sebelum menari harus berpuasa, juga
menjalankan sesuci jamasan yaitu
memberi wangi-wangian pada rambut dengan melalui pengasapan. Tata cara itu untuk mengarahkan penari kepada proses penghayatan
terhadap sebuah keyakinan bahwa tariannya dipersembahkan kepada raja. Secara sosial politik, seorang raja harus mempunyai
sifat-sifat keunggulan dan keluarbiasaan. Sifat ini akan dicapai melalui
pengumpulan kasekten pusaka, harta kekayaan dan banyak istri
(termasuk selir). Jadi mempunyai banyak istri merupakan tanda keunggulan yang
membuktikan super human atau keagungan.
Sesungguhnya dapat dinyatakan bahwa
kehadiran perempuan dalam seni pertunjukan pada konteks pembaharuan dapat
dicapai dan terakomodasi dalam sebuah sistem terbuka. Sistem terbuka dalam
konteks seni pertunjukan tari dipengaruhi oleh mulai tumbuhnya sistem kultural
yang mengedepankan pentingnya prestasi. Untuk mencapai prestasi itu, terbuka
kemungkinan melalui pendidikan dan keakraban partisipatif dengan bentuk seni
pertunjukan lain seperti halnya teater, ketoprak, wayang orang dan lain-lain.
Orang‑orang yang terintegrasi dalam masyarakat seniman pada umumnya tidak lagi
menutup pengembangan tradisinya, pandangannya meluas dalam konsepsi
nasionalisme. Pembentukannya akan menjadi wadah efektif guna mengembangkan
alternatif pembaharuan seni pertunjukan.
Patut dipahami bahwa dunia seni
pertunjukan adalah aktivitas kemasyarakatan. Adanya peningkatan secara
kuantitatif dan kualitatif atas partisipasi perempuan dalam dunia seni
pertunjukan ditandai dengan terjadinya perubahan batas pagar‑pagar moral
perempuan yang berkaitan dengan tindakan dan rasa malu. Terkait dengan
aktivitas kemasyarakatan, para perempuan telah memiliki peran sebagai seniman
yang pada kelanjutannya mempunyai posisi baru yaitu penyangga perekonomian
keluarga yang dahulu hanya dipegang oleh laki‑laki. Dengan demikian, ideologi
gender yang memberikan otonomi yang besar perempuan telah diperjuangkan melalui
kehidupannya di dunia seni pertunjukan. Hal itu berlaku berbarengan dengan
kebebasan yang mereka peroleh untuk bergerak dalam kehidupan masyarakat, sesuai
dengan kredo “perjuangan” yang dilakukan selama ini oleh perempuan, yaitu
”kesetaraan hak, kesetaraan kesempatan : kemajuan bagi
semua”.
Seni Pertunjukan khususnya karya-karya
dari
pelaku seni perempuan sudah semestinya mendapatkan tempatnya
di masyarakat. Menghadirkan sebuah tontonan dengan ide-ide kreatif baru. Bahwa seni pertunjukan bukan hanya sebuah
kata yang isinya sekedar hiburan semata, tetapi seni pertunjukan bisa menjadi satu
bentuk penyadaran dan pembelajaran kepada masyarakat. Bentuk kritik sosial juga dapat bermula dari
seni, dimana kita dapat mengkritisi pemerintahan kita melalui ide-ide kreatif
dalam panggung-panggung pertunjukan.
Seni bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja yang mau terlibat
didalamnya.
Seni pertunjukan di kota Palu saat ini
kian berkembang pesat, melalui berbagai event lahirlah para kreator, pekerja
seni muda dengan berbagai gagasan serta ide-ide baru yang tetap menanamkan
lokalitas kedaerahan pada karya-karya mereka. Garapan seni pertunjukan berbasis
tradisi menjadi satu kunci sukses para seniman kota Palu dalam panggung
pertunjukan. Mementaskan karyanya pada skala lokal, nasional bahkan
internasional membuat seniman kita mampu berbicara dan dapat diperhitungkan.
Comments
Post a Comment
Tabe !