KOREOGRAFER ? Nilai diantara Eksistensi, Kejujuran dan Pertanggungjawaban Karya
Perjalanan dalam sebuah proses koreografi bukanlah dalam waktu singkat, melewati banyak tahapan naik-turun ibarat laut yang sering pasang-surut. Ketika seseorang memutuskan untuk dia memilih tari sebagai satu proses berkeseniannya, maka saya sangat meyakini mereka termasuk orang-orang yang gelisah. Gelisah dalam artian, mereka mampu membahasakan sebuah proses kehidupan melalui bahasa tubuh mereka, yang kemudian akan melahirkan bentuk dan lama kelamaan akan menjadi ciri dalam ke-karyaan mereka. Namun, tidak sedikit dari mereka hanya mengejar sebuah eksistensi agar mendapat pengakuan tanpa lagi mementingkan esensi proses sebuah "koreografi".
Saya, ingat ketika memberanikan diri datang ke Solo di tahun 2000 (sebuah Kota yang dipenuhi dengan para penari-penari hebat) dengan otak dan tubuh kosong. Mengikuti sebuah workshop tari yang saat itu langsung menyadarkan saya, bahwa selama ini saya hampir merasa seperti "sleeping beauty" tidur yang terlalu lama karena dicekoki doktrin serta pemahaman tari yang kurang baik. Workshop ini membuka mata saya, betapa disaat itu saya merasa seperti semut yang numpang lewat. Sekembalinya dari Solo, saya berpikir apa yang salah pada pikiran saya? Hingga akhirnya sebuah kalimat bijak dari sang Maestro Tari menjadi pesan abadi dalam proses karya saya ; "Beruntunglah kamu bisa menari bahkan mencipta tari karena tidak semua orang di alam ini mampu membahasakan sesuatu melalui tubuhnya. Menari bukan asal menari, mencipta tari bukan sembarang mencipta tari. Satu gerakan pada tubuhmu itulah pesan, jangan sekali-kali membuat gerakan pada karya tarimu yang tidak singkron dengan konsep yang telah kamu bangun, jangan selalu melihat pada proses tetangga saat kamu benar-benar ingin mengubah ide menjadi gerak, karena sebuah pesan bukan dari penjiplakan. Jadilah seorang penari ataupun koreografer yang santun dan tentunya kamu menjadi diri sendiri dalam berkarya bukan dalam bayangan orang. Jika kamu berhasil mendapat bentuk dan lahirlah orang-orang berikutnya seperti kamu, maka kamu mampu membius mereka dan didiklah mereka untuk tidak menjadi kamu yang kedua. Jika bergerak jangan pernah berhenti lagi, (Sardono W. Kususmo)".
Pesan inilah yang terus menjadi modal saya untuk berkarya bahkan akhirnya bisa berdiri sekarang ini. Mematangkan proses lewat sebuah keberanian dan modal nekat, saya adalah orang yang hingga kini masih belajar. Dan usai workshop tersebut, saya memberanikan diri untuk mengubah "mindset" orang-orang Palu tentang Tari, menjadi orang yang berada di garis paling pinggir dalam kamus pemerintahan daerah, mencoba menari dengan bahasa jujur dan dalam konteks sebagai seorang pekerja seni bukan pengemis seni. Penantian berbuah hasil ketika saya mendapat undangan sebuah event tari besar berskala Nasional, saya langsung menjadi orang merasa waspada saat itu, akan berhadapan dengan para penari-penari kelas atas Indonesia. SOLO DANCE FESTIVAL sebuah event tari dimana para koreo menarikan karya mereka sendiri secara tunggal. Saya berada disebuah panggung besar, 10kali lebih besar dari Taman Budaya Sulawesi Tengah dengan tata lampu yang membuat saya tak bisa melihat siapa saja yang telah menyaksikan karya saya dan lebih luar biasanya saya berada ditengah-tengah "mereka" para penari-penata tari hebat di negeri ini, saya termuda baik dari umur maupun karya dari mereka, saya berdiri diantara ibu Ely D. Luthan, Nyoman Sura, Fajar Satriadi, Jarot Budi Darsono, Lena Guslina, Peni Puspita, Ali Sukri dan nama-nama hebat lainnya. Berdiri diantara mereka menjadi sebuah guncangan besar karena kulaitas mereka sudah tak diragukan lagi. Namun, saya berhasil memborong semua ilmu-ilmu mereka kembali ke kampung. Bertahun-tahun mereka berkarya tak pernah merasa mereka orang yang besar dan tetap memutar otak untuk urusan manajemen pertunjukan mereka, hanya saja mereka mampu melewatinya dengan sikap tenang. Dan itulah mereka para penari-penata tari terbaik di negeri ini, mereka semua adalah ceriman dan inpirasi saya dalam berkarya. Dan dari event ini saya bisa berbahasa di panggung-panggung lainnya.
12 tahun, bukanlah waktu singkat untuk saya bisa berkarya di bidang tari. Namun, masih banyak yang mengganjal dan masih banyak yang belum tersampaikan. Miris memang ketika kita tak bisa diterima didaerah sendiri namun disambut dengan begitu hangat di negeri orang. Sebagaian dari tahun-tahun tersebut saya habiskan untuk berproses di tanah orang, karena kekejaman otak didaerah sendiri yang langsung menggaris hitamkan karya-karya saya. Namun, anehnya kenapa saat sekarang mulai banyak bermunculan karya-karya yang mengarah ke bentuk itu dan seolah ................ahhhh apalah namanya, saya bisa memandanginya dari kejauhan hanya dengan rasa geram di dada.
Setiap gerak yang saya tarikan memiliki makna dan pesan, bukan hanya sekedar asik dipandang mata, sangat artistik fotografinya ataupun agar terkesan dimata orang "hey, dia jago bisa split, salto, kayang dan sebagainya". Kadang saya tertawa ketika ada beberapa orang yang menggarap tari sudah sangat jauh larinya dari konteks ide dan konsep garapan yang dia susun sendiri atau memang dia menggarap sebuah karya tanpa ide ataupun konsep. Sebuah tari dipandang sebagai gerak yang bisa membuat orang senang, senyum dan kagum tanpa ada pesan. Jadi merinding saya melihat para koreografer seperti ini di daerah saya. Bukan berarti sayalah yang paling jago dalam urusan koreografi, bukan.. saya tidak sejago itu. Bukan berarti pula sayalah yang paling tahu benar tentang tari, ahh tidak juga buktinya 12 tahun ini saya masih terus belajar pada koreografer luar. Hanya merasa kasian juga melihat orang menggarap tari hanya dijadikan sebuah kesempatan untuk eksistensi hidup, jadi seorang penata tari hanya untuk sebuah event pemerintah atau undangan/hajatan. Sampai dimana kegelisahan anda sebagai seorang koreografer? Astaga, ternyata koreografer di Sulawesi Tengah sudah mulai banyak, tapi kenapa tak ada satupun yang mau membuat pertunjukan tarinya secara tunggal dan diperdebatkan serta didiskusikan bersama. Terus, untuk kepentingan apa anda menggarap sebuah karya? untuk menjadi terkenalkah anda menjadi koreografer? atau hanya untuk pemerintahkah anda bekerja sebagai penata tari?
Secara khusus, saya angkat ibu jari untuk kalian semua yang mau menari-menata tari-hidup dengan tari. Tapi secara batin, saya tidak rela jika anda melakukannya hanya atas dasar sebuah kepentingan. Belajarlah berkarya pada kesadaran konsep anda, lurus saja ikuti itu tanpa harus melihat kiri-kanan yang akhirnya tidak singkron dan berujung pada kata "ANEH". Belajarlah untuk mengeksplorasi jangan mencopy paste, carilah bentuk dan ciri anda sebagai seorang penata tari yang baik, bijak dan santun. Dan belajarlah untuk menghargai sesama penata tari lainnya, jangan semena-mena mengambil haknya bahkan didepannya sendiri dan belajarlah untuk mau dikritisi bukan disanjung dengan iming-iming....belajarlah, belajarlah !
Sampaikan pesanmu, kritikanmu, kegelisahanmu, pemberontakanmu melalui tubuhmu...satu gerak berarti untuk sejuta makna, hati-hatilah ! Menarilah karena hatimu ingin menari bukan karena peringatan kalender pemerintah, menarilah dengan segala kesederhanaanmu bukan karena amplop senilai, dan menarilah bersama kejujuran.
--Iin Ainar Lawide--
Comments
Post a Comment
Tabe !