KARAMPE ; The Lost Land
Dipentaskan di auditorium Unoversitas Tadulako, Desember 2014
PORSENI Mahasiswa Baru Untad - Perwakilan dari FISIP
Islam
masuk dan menyebar di tanah Kaili sekitar tahun 1612, ajaran Islam dibawah oleh
seorang Mubaligh asal Minangkabau bernama Abdullah Raqie yang kemudian di beri
gelar Dato Karama. Ia datang ke lembah Palu membawa ajaran Islam, yang kala itu
masyarakat masih sangat merasa asing dengan ajaran tersebut. Melintasi Karampe
hingga Lere, Dato Karama mendapat ujian yang bertubi dari masyarakat karena
diangggap membawa keributan dengan suara azannya. Namun, seiring waktu semenjak
Pue Njidi akhirnya masuk Islam, maka secara perlahan-lahan ajaran Dato Karama
mulai dapat diterima oleh masyarakat sekitar.
Karampe,
sebuah wilayah di bagian timur Kota Palu yang jika membahas awal mula
penyebaran Islam, maka wilayah ini menjadi satu saksi sejarah adanya proses
penyebaran tersebut. Dahulu masyarakat karampe sebagian besarnya memiliki mata
pencaharian nelayan (baik pencari udang ataupun ikan) karena kawasan ini tepat
berada di bibir pantai. Menjadi salah satu kawasan pesisir yang menjanjikan,
Karampe akhirnya seolah ditelan oleh sejarah baru peralihan modernisasi
akhirnya bukan hanya mengeruk tanah karampe itu sendiri namun juga termasuk
pola pikir warga sekitarnya. Karampe menjadi satu momentum penting ketika Dato
Karama akan memulai ajaran di Tanah Kaili, kapalnya yang akhirnya karam di
wilayah itu diikatkan pada sebuah batang pohon di bibir pantai. Sejak tanah itu
diinjak oleh Dato Karama, sejak itu pula Islam mulai menyebar scara
perlahan-lahan.
Sayangnya,
momentum sejarah religi yang juga menandai adanya Palu ini seolah pupus, hilang
ditelan zaman. Sunggu miris menyaksikan sebuiah kawasan bersejarah kini tak
menyisakan sedikit pun puing-puing peninggalan sejarah itu, semua kawasan
berubah menjadi kota mini yang padat dan dipenuhi kesibukan masyarakat plural.
Membuat kita akhirnya berpikir, mengapa tanah yang memiliki arti keislaman
akhirnya dipenuhi oleh otak-otak moder hedonis. Tak ada sebuah penanda ataupun
marka jalan bahkan penghargaan kecil pun tak diberikan pada kawasan ini. Sebuah
tanah yang nampak namun hilang, disebabkan tidak ada lagi kepedulian
pemerintah, masyarakat dan stakeholder terkait mengenai jejak sejarah Islam
ini. Sebuah kegelisahan akan hilangnya peradaban secara perlahan-lahan dan tak
ada kepekaaan rasa pada sejarah tersebut.
Konsep Garapan
Mengambil
keserahian penangkap ikan dan udang kaum perempuan yang memiliki jiwa pekerja
dan kemandirian tinggi. Di tanah Kaili, perempuan memiliki tempat istimewa
sendiri. Memadukan gerakan kantau (Pencak Silat Tradisional Kaili), Salonde (Pola
Gerak Balia) dan Balumbu (Teknik Jepeng tradisi Sulawesi Tengah) dalam satu
kesatuan garapan menjadikan rasa tradisi, islami dan kekinian berpadu pada
garapan karya tari ini.
Memiliki
alur yang dibagi dalam 3 (tiga komposisi) dimulai dari para nelayan perempuan
berakhtivitas, proses pribadi mereka setelah kedatangan islam dan hingga
akhirnya tanah mereka yang tergerus oleh perubahan zaman akibat pembangunan
kota. Bubu (alat penangkap udang tradisional) kini hanya menjadi pajangan di
bagoian sudut rumah mereka. Tanah sejarah lahirnya peradaban islam di tanah
Kaili seolah hilang walaupun masih terlihat nyata.
Comments
Post a Comment
Tabe !