“PIRINGKU TAK SAMA ; It was power on my land”
Sebuah interpretasi
kontemporer dari tradisi Makan Besar atau Makan Adat (Ada Mpantale)
di masyarakat Kaili yang memiliki makna filosofis bagi perkembangan dan
pertumbuhan perilaku seseorang. Sayangnya, tradisi ini sudah mulai tergerus
zaman bersamaan dengan arus modernisasi yang kian membabi buta di negeri ini.
Dalam tradisi Makan Adat, memiliki tata aturan sajian yang
didalamnya memiliki pesan bijak bagi pelaku-pelakunya. Dimana menghargai adanya
perbedaan, tidak tebang pilih berlaku adil sekalipun dengan generasi bangsawan
atau turunan madika, bahkan tata
aturannya pun mengatur agar seseorang itu nantinya bisa menjadi insan atau
manusia yang bijaksana dan mengayomi siapa saja. Jika kembali melihat mundur
pada masa-masa dimana tradisi leluhur masih menjadi penopang perilaku kita,
betapa banyak pesan penting yang akan membantu moral untuk berupaya berlaku
lebih baik.
Dibenturkan pada
kondisi saat ini, dengan perilaku-perilaku ketamakan yang ada pada diri
sekelompok orang dengan tidak lagi mementingkan kepentingan banyak orang namun
mengutamakan diri dan golongannya sendiri.
Perilaku-perilaku tersebut ibarat orang-orang yang kelaparan yang akan memakan
semua hal bahkan untuk hal yang sekalipun bukan menjadi menu di meja makannya.
Di negeri ini sedang diselimuti sekelompok orang-orang yang tak lagi menjadi
bijaksana disaat ia berada di suatu posisi yang menguntungkan. Mereka seolah
menjadikan posisi-posisi tersebut sebagai suatu kesempatan besar untuk melahap
apa saja. Inilah cerminan bangsa kita saat ini, tidak dapat dipungkiri perilaku
orang-orang seperti ini semakin nampak terlihat agar mereka memiliki taji dan
pasang wibawa pada orang biasa (sebut : tak memiliki kedudukan apapun).
Kepedulian sesama yang semakin menipis menjadi pertanyaan besar, benarkah
negeri ini hanya memasok makanan untuk menjadi menu di meja para pembesar saja?
Mulai dari pendidikan, kesehatan, sosial, pekerjaan, ekonomi, kebudayaan
yang tentunya mencakup kesenian seolah telah menjadi jatah-jatah penting untuk
berbagai kalangan. Tradisi terabaikan, tak lagi menjadi
pijakan untuk melangkah dan bertindak.
Tradisi
Makan Besar / Makan Adat Masyarakat Kaili dalam Perspektif Modern.
Makan besar atau
makan adat dalam masyarakat Kaili biasa disebut Ada Mpantale, dimana biasanya
dilakukan ketika berlangsung upacara adat,
ritual, syukuran, ataupun daur hidup (life
cycle). Namun, di masa kerajaan-kerajaan masih berkuasa di tanah Kaili
tepatnya awal abad 16, kebiasaan Makan
Besar/Makan
Adat ini hampir sering
dilakukan sekalipun tidak sedang menyelenggarakan upacara ataupun hajatan. Terdapat simbol-simbol serta nilai filosif kesantunan,
kebersamaan, kebersahajaan, tenggang rasa, hormat-menghormati dan saling
melindungi. Kesemua hal tersebut tercakup dalam ritual Makan Besar/Makan Adat Mantale Ada Mpolama yang diurutkan dalam tiga kelompok yaitu :
1. Balenggampantale, atau biasa disebut kepala sajian. Balenggampantale ini
adalah simbol kesyukuran dari yang melaksanakan acara. Pesan penting dari
Balenggampantale ini adalah bagaimana tetua-tetua kita dulu telah mengajarkan
tata cara menyajikan makanan secara benar dan teratur, baik itu pada saat
diadakannya Makan Adat maupun pada saat kehidupan sehari-hari. Para leluhur
kita telah mengawali nilai pendidikan melalui adab kesopanan di depan sajian
makanan. Bagaimana mereka menghargai semua makanan yang ada dihadapan mereka
sebagai sebuah nikmat pemberian dari tupu ta’ala yang tanpa harus dijatah atau
dikhususkan porsinya berdasarkan sebuah kedudukan atau jabatan seseorang,
karena menurut para tetua dihadapan makanan tak ada lagi kedudukan/jabatan yang
tinggi dan rendah melainkan hanya ada penghormatan kepada orang yang lebih tua
usianya.
2. Ganampantale, merupakan pelengkap sajian yang didalamnya diatur bagaimana
tata cara kita bicara, berlaku pada saat makan dengan orang-orang yang lebih
tua tanpa melihat kedudukan/jabatannya. Menghormati orang yang lebih tua adalah
sebuah bentuk kesopanan yang diajarkan dan diwariskan melalui bagian dari
tradisi Makan Adat ini. Tentunya perilaku ini jika diwariskan secara terus
menurus pada setiap generasi akan berdampak pada pola pikir anak-anak, bahwa
sebuah kewajiban untuk menghormati orang yang lebih tua dan bagiamana bersikap
saat didepan makanan ketika bersama orang yang lebih tua tersebut. Ganampatale
ini berisi 7 pokok makan penting yang diletakan secara lurus memanjang mulai
dari posisi duduk orang (tamu) yang lebih tua usianya atau bisa juga totua nungata setelah sajian
Balenggamantale. Jika dalam kajian kuliner modern khususnya di
Restoran-restoran berstandar internasional, Ganampantale ini juga bisa disebut
sebagai Appertize (makanan pembuka).
Disinilah kita bisa melihat bahwa sebelum modernisasi berkembang tata sajian
makanan kita telah mengajarkan sebuah bentuk sajian tradisi yang nantinya
secara tidak langsung akan menjadi inspirasi dan digunakan oleh orang-orang
modern. Sejak abad 16 tetua / leluhur kita telah melakukan tradisi ini yang
jika ditelisik lebih jauh kini telah jauh lebih berkembang atau berhasil
dikembangkan oleh bangsa-bangsa eropa hingga di seluruh dunia hingga saat ini.
3.
Pokompantale / Isimpantale, inti dari sajian makan adat atau Ada Mpantale. Menjadi makanan inti yang
disajikan untuk dapat dinikmati tamu atau seluruh masyarakat yang menghadiri
Ada Mpantale tersebut. Hampir sama dengan Ganampantale, Pokompantale ini secara
bertahap berkembang di bentuk kuliner internasional yang disebut sebagai Main Course atau menu makanan utama,
yang terdiri dari makan berat atau pokok. Namun ada hal yang sangat perlu
diperhatika pada bagian Pokompantale ini yaitu :
1) Tata Cara Makan ; dimana masyarakat (tamu) diperbolehkan
makan jika para orang tua sudah lebih dulu memakan makanannya.
2) Tata Cara Duduk ; diajarkan sejak masa tetua kita bahwa
sebaik-baiknya makan adalah duduk melingkar bersama satu kelompok baik itu
keluarga, kerabat, maupun tamu-tamu undangan. Di masa kerajaan berlaku tidak
diperbolehkan berdiri atau meninggalkan lingkaran sajian jika para tetua belum
selesai makan, menganggap bahwa kita tidak memiliki rasa hormat pada orang yang
lebih tua. Selain itu tetua kita telah mengajarkan melalui tata cara duduk ini
bahwa dihadapan makanan tidak boleh melakukan aktivitas lainnya seperti bicara,
memegang sesuatu atau sambil memandang sesuatu dengan seriusnya, sehingga
mengabaikan urusan makan tersebut. Karena tetua kita begitu menghirmati makanan
dihadapan mereka, bahkan ludah pun mereka takan membuangnya di tanah atau
dijalanan melainkan di sebuah wadah yang disebut Topeveulu apalagi untuk urusan makanan.
Dari pokok
penting diatas jika kita benturkan pada kondisi saat ini sangatlah pas, dimana
kita sudah tidak lagi menghormati orang yang lebih tua pada saat proses makan,
dengan mendahuluinya hanya karena mengikuti hawa nafsu kelaparan kita. Jarang
sudah makan menjadi satu pertemuan wajib keluarga, bahkan saat ini pola duduk
melantai pun sudah terganti dengan adanya kursi dan meja makan ditambah lagi
kelakukan dan pola makan kita yang kadang berpindah-pindah, saat sedang makan
pindah duduk di depan tv, atau sementara makan tapi sibuk memegang gadget / HP, bahkan bergosip, bergunjing
dan tertawa sudah menjadi hal baku di depan makanan. Benturan-benturan ini yang
sudah semestinya untuk kita renungkan bahwa leluhur kita telah mengajarkan
sebuah cara untuk kita mau bersyukur dan mampu mengikat silahturahmi kepada
lingkungan melalui Ada Mpantale ini.
Tiga komponen tersebut tidaklah berdiri sendiri tetapi
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai pelengkap bagi yang
lainnya sehingga tidak ada lagi yang dirasakan kurang. Kembali pada konsep
penting dari Ada Mpantale ini bahwa tidak ada perlakuan khusus kepada seseorang
yang memiliki kedudukan/jabatan.
Jika melihat dari perkembangan modern, betapa kita menyadiri
tradisi kita telah mengajarkan sebuah tata aturan yang akan menjadi pedoman
hidup baginya kelak, salah satunya melalui tata cara makan. Jauh sebelum
bangsa-bangsa Eropa yang menduduki wilayah kita, para tetua telah secara
perlahan mewariskan tata aturan ini yang akhirnya secara tidak langsung diikuti
oleh bangsa-bangsa barat dengan pola mereka sendiri.
Sebuah pesan moral yang tinggi dari Ada Mpantale ini, siapa
anda..siapa saya..bukan menjadi sebuah takaran penting karena didepan makanan
kita sama satu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mensyukuri apa yang telah
Tupu Ta’ala berikan. dan ketika bangsa barat terutama Eropa telah mampu
mengakomodir tata cara ini pada lingkungan mereka, bukankah sudah semestinya
kita juga mampu mengembalikan Ada Mpantale sebagai tradisi kita ?
Ketika Ada
Mpantale di balut dalam Bahasa Ke-kini-an
Pada reportoar ini pola tangan dan kaki menjadi elemen terkuat pada tubuh
seorang penari/aktor. Gerak ritmis dan dinamis dalam pola tubuh akan
menjadikan kecepatan (body volum)
pada komposisi dan bentuk. Menggunakan keseluruhan gerak kaki kantau (pencak silat tradisi Kaili) dan salonde, sementara ragam tangan
bernagkat dari pola olo’
dikonsepsikan menjadi gerak kekinian pada tubuh penari. Dalam konteks dunia tari, tubuh menjadi hal
penting bagi koreografer maupun sutradara dalam pencapaian ekstetiknya. Berpola pada ragam gerak tradisi dalam
balutan kekinian dengan sumber gerak Kantau, ekspresi serta dialog, baik koreografer maupun sutradara mempunyai tafsiran
yang berbeda dalam menyikapi elemen tubuh sebagai
artistik. Elemen tubuh mencoba untuk bisa membongkar personalisasi penari dan aktor agar terbebas dari
bentuknya sendiri-menjadi satu kesatuan elemen dari simbol-simbol dan identitas
dan bagaimana memahami perjalanan kreatif tubuh, gerak, cahaya hingga menyatu
menjadi satu kesatuan dalam “bentuk ruang” (tata rupa panggung). Tentunya
adalah bagaimana gerak tradisi disikapi dalam perspektif kekinian.
Dewasa ini Dance Theater bukan lagi menjadi hal tabu dan
baru dalam panggung pertunjukan, baik secara istilah (eksistensi) maupun
penyajiannya. Dalam pertunjukan Komunitas Seni Lobo kali ini mencoba mengubah
sudut pandang dance theater di kalangan seniman eropa maupun negara lainnya
dari yang apatis menuju yang apresiatif dan kritis pada setiap pertunjukan dance
theater itu digelar, serta
mencoba menjadikan tari dan teater sebagai satu kesatuan yang menarik di atas
panggung mampu beriringin tanpa harus meninggalkan esensi dan estetikanya dan
memainkan pikiran penonton untuk mencari celah yang mana bagian tari ataupun
teaternya,
Pertunjukan ini juga dimaksudkan untuk menghadirkan semangat
kreatif positif disertai proses laku cipta karya original inovatif dalam pembebasan berkesenian yang bertanggung
jawab dan mandiri, sebagai bentuk sikap kritis terhadap persoalan masyarakat,
bangsa dan negara Indonesi
dan yang paling penting adalah mengakrabkan
sebuah proses dari pertunjukan itu kepada para pekerjanya, khususnya generasi
baru (baik pelajar maupun mahasiswa).
Komunitas Seni Lobo mengangkat tema
Sosial Budaya yang miris dan
masih terjadi di negara kita ini melalui pertunjukan dance theater PIRINGKU TAK
SAMA ; It Was Power on my Land, yang
melibatkan beberapa pekerja seni dalam satu panggung. Pertunjukan ini
disutradari oleh Ipin Cevin dan koreografinya digarap oleh Iin Ainar Lawide
yang kedua dari Komunitas Seni Lobo serta untuk music dibantu composer muda Akbar Dian dan beberapa pemusik dari Sigi. Menyatukan beragam
perbedaan dalam satu panggung menjadi warna baru dalam seni pertunjukan di Kota
Palu.
Comments
Post a Comment
Tabe !