Hujan, Ilmu dan Manajemen Pertunjukan
KABAR
PANGGUNG
Edisi Februari 02 / 2015
International Rain Festival, sebuah
event yang mengajarkan kita untuk lebih berkawan dengan hujan dan alam. Event ini
didasari pada sebuah konsep sederhana oleh tiga kepala yaitu sepasang suami
istri Mugiyono Kasido-Nuri Aryati dan Mas Ndaru. Indonesia sebagai negara yang
terletak di daerah tropis / garis khatulistiwa memiliki dua musim yaitu musim
panas dan musim hujan. Kedatangan musim panas seringkali disambut sukacita
namun sebaliknya dengan kedatangan musim penghujan. Musim yang sering diidentikkan
dengan hari-hari basah, tanah longsor dan bencana banjir membuat sebagian
masyarakat tidak terlalu gembira saat musim datang. Padahal hujan adalah
pemberian dari alam yang juga mestinya disambut dengan kegembiraan. Musim tanam
tiba, sawah tadah hujan mulai aktif, sumur-sumur terisi air, ladang dan hutann
menjadi hijau, hewan ternak tak lagi kesulitan mencari makan.
Yang kita ketahui bahwa Mugiyono Kasido
adalah seorang penari, seniman solo yang dididik dan dibesarkan dengan tradisi
Jawa yang begitu kental. Karya-karyanya pun dikenal khalayak luas hingga ke
mancanegara. Alumni Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta yang kini berubah
nama menjadi ISI ini akhirnya membentuk sebuah kelompok tarinya sendiri. MUGI
Dance merupakan sebuah lembaga nirlaba yang dibentuk dan didirikan oleh
sepasang suami istri seniman asal Kota Solo-Jawa Tengah. Nama Mugi Dance ini
diambil dari nama salah satu maestro tari Indonesia yaitu Mugiyono Kasido, ia
dikenal diseluruh dunia lewat karya-karyanya yang menjadi perhatian bagi insan
tari. Ia juga dikenal dengan sebutan Penari Baju Kaos karena ia adalah penari
pertama yang mampu menari dengan elastisitas badan terlipat pada sebuah kaos
putih. Dan ia penari pertama yang mampu menembus rekor dunia sebagai penari 36
jam 36 menit 36 detik non stop. Dari prestasi dan segudang pengalamannya, ia
dan isterinya membangun sebuah lembaga yang mampu melahirkan
pengkarya-pengkarya baru di Indonesia bukan hanya dari bidang tari saja yang
seperti ia geluti, namun merambah ke hampir semua ite pertunjukan.
Festival ini dimaksudkan untuk mengubah mindset atau cara berpikir orang tentang
bagaimana mereka mensikapi datangnya hujan. Pelaksanaan festival ini sengaja
dilakukan saat musim hujan, musim yang seringkali dihindari oleh para
penyelenggara pertunjukan di luar ruang (outdoor).
Diharapkan acara ini bisa berlangsung saat hujan, performer harus menyiapkan
diri dengan kondisi ini, demikian pula dengan masyarakat penonton. Penonton
akan sengaja diajak untuk hujan-hujanan, menikmati hujan. Stigma “hujan akan
membuat sakit” mestinya perlu ditempatkan pada porsinya. Anak- anak akan
kembali merayakan bagaimana mandi air hujan, air yang jatuh langsung dari
langit. Bagaimana memanfaatkan berlimpahnya air hujan guna kehidupan
sehari-hari.
Festival yang di gelar
selama dua hari Sabtu-Minggu (17-18/1) di Mugidance Studio, di Krapyak RT
001/RW 007, Desa Pucangan, Kecamatan Kartasura, Sukoharjo ini menjadi ajang
perdana perhelatan dari Komunitas MUGIdance yang dimeriahkan 20 seniman dan
komunitas seni dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara. Ada penari
dari Jepang serta pemusik dari Italia dan Mexico.
Tak hanya itu, ada
penampilan khusus dari Dandim Sukoharjo Letkol Inf Riyanto yang tampil menabuh
gending bersama grup karawitan Kartika Yudha Laras Kodim Sukoharjo. Tak
tanggung-tanggung, Dandim dan istri ikut membawakan 11 gending yang menjadi
pembuka acara festival. “Kami sangat mendukung sekali kegiatan seni masyarakat,
Kartika Yudha Laras Kodim akan siap tampil dalam acara Festival Hujan
Internasional di Kartasura. Rencananya 11 gending siap kita tampilkan, saya
ngending sendiri lo,” ungkap Letkol Riyanto, Jumat (16/1).
Program Director
Mugidance, Nuri Aryati, selaku penyelenggara mengatakan festival tersebut
digelar karena selama ini banyak orang menganggap hujan sebagai momok. “Festival
ini digelar untuk mengubah pemikiran orang-orang yang masih takut dengan hujan.
Padahal hujan itu adalah salah satu nikmat dari Tuhan. Jadi hujan bukan untuk
ditakuti, tapi harus disyukuri dan dirayakan,” ujar Nuri, yang juga istri
seniman tari Mugiyono Kasido ini.
Festival hujan ini,
imbuh dia, bertujuan mengajak setiap orang untuk merayakan datangnya kucuran
air dari langit. Bila biasanya hujan selalu dihindari dalam penyelenggaran
pertunjukan luar ruang, maka dalam festival ini orang-orang justru diajak untuk
mendatangi ketakutan itu dan mengubahnya menjadi kegembiraan. International
Rain Festival 2015 ini digelar secara outdoor atau di alam terbuka di lima
lokasi outdoor di kompleks Mugidance Studio. Tidak seperti pertunjukan seni
yang dilengkapi dengan panggung megah, festival ini jusru jauh dari
kegemerlapan. Para seniman antargenerasi yang berpartisipasi dalam festival
akan tampil di pendapa, mandala, rerumputan, kandang kebo, dan kolam lumpur.
Nuri beserta komunitas
kesenian Mugidance berharap festival tersebut dapat mengubah pola pikir
masyarakat untuk kembali menyadari kearifan alam. Saat musim penghujan, sambung
dia, biasanya akan diiringi dengan musim tanam padi. Makna hujan berarti
mengajak para petani untuk kembali memanfaatkan kekuatan alam.
Namun, hal yang paling
menarik dari perjalanan event ini proses manajemen tiga kepala yang dikerjakan
secara matang memiliki poin penting yang kami dapatkan sebagai pelajaran jika
nantinya akan membuat event serupa yaitu nilai kejujuran. Kejujuran dalam
pengelolaan manajemen baik itu anggaran, waktu maupun proggraming membuat event
ini secara kasat mata terlihat seperti di kerjakan oleh 20 orang tim work namun
kenyatannya hanyalah tiga kepala dan dibantu oleh kuranglebih 7 orang kru
selebihnya adalah masyarakat sekitar yang sangat memberikan dukungan serta
minatnya terhadap pelaksanaan event ini.
Kegiatan ini
menjanjikan sebuah keberlangsungan kerjasama kesenian yang sangat panjang
menariknya penyelenggara kegiatan dalam hal ini Mbah Mugi, mba Nuri dan Mas
Ndaru sebagai gawang dari International Rain Festival ini membuka diri secara
lebar dengan datangnya kritik dari penyaji, penonton maupun tim media. Mereka
tak menutup diri, malah merekabertigalah yang datang menanyakan kepada
masing-masing penyaji apa-apa saja yang kurang dan mungkin terlupa dari mereka.
Mereka seolah sadar bahwa kritikan akan mengalir ke arah mereka. Namun mereka
membiarkan dan menerima kritikan-kritikan tersebut sebagai salah satu jalan
menuju perbaikan event ini tahun mendatang.
Dari event ini, begitu
banyakkami belajar arti seorang pekerja dan pengkarya seni dengan pentingnya
mereka untuk dikritik. Disini kami menyadari belum ada apa-apanya dibanding
dengan ketangguhan seorang maestro tari sekelas Mugiyono Kasido yang masih mau
belajar hingga detik bahkan dengan orang yang usianya jauh lebih muda
dibawahnya. Inilah yang kmai sebut sambil menyelam minum air, kami menjadi
penyaji dari event tersebut namun kami merampok ilmu manajemen pengelolaan
eventnya untuk kelak nantinya bisa kami aplikasikan di tanah kelahiran. Ilmu
mahal yang mungkin belum tentu akan ada kesempatan kedua kami memperolehnya.
Dan event ini benar-benar berhasil mengubah mindset
kami. (IC)
Comments
Post a Comment
Tabe !