Konflik Batin ditanah Legenda Ulasan Pertunjukan Talu-A-rt #9 LEGENDA EMAS & BERAS)


TaluArt #9 LEGENDA EMAS & BERAS
Sanggar Seni Kololio, Kaleke Des 2014
Mengangkat tema central “petani”. Kenapa petani ? Karena ada rasa kecewa dan sebuah kegelisahan kepada beberapa penambang yang ada di desa Kaleke. Dahulunya para penambang ini berprofesi sebagai petani, karena desakan ekonomi dan pekerjaan bertani dianggap memakan waktu lama untuk menunjang kebutuhan hidup maka akhirnya mereka beralih berprofesi menjadi penambang. Ironisnya, mereka meninggalkan sawah-sawah mereka yang akhirnya ditumbuhi rerumputan liar dan kemudian sapi-sapi ternak dibiarkan berkeliaran bebas di tanah sawah milik petani, bahkan hewan ternak itu pun masuk ke areal sawah milik masyarakat lainnya dan memakan padi-padi di areal persawahan tersebut. Sementara para penambang, hanya melihat dan membiarkan sapi-sapinya memakan padi. Secara tidak langsung, masyarakat lainnya bahkan mungkin anak-anak yang melihat kejadian tersebut akan memiliki asumsi bahwa padi hanyalah sekedar makanan untuk sapi. Sangat miris…

Yayan sebagai pengkarya berbicara lebih kepada sisi petani karena latar belakangnya yang seorang petani. Jika diminta dalam pertunjukannya untuk memberikan sebuah solusi antara petani dan penambang, maka Yayan menguraikan bahwa ia tidak berada di posisi tengah, ia adalah petani, pertunjukan ini lebih kepada harapan bagi para penambang tersebut untuk kembali pada profesi mereka sebelumnya sebagai petani.


Secara konsep, karya ini mengangkat realitas sosial yang terjadi di desa Kaleke saat ini. Namun, sehubungan dengan judul utama pertunjukan, apakah ini hanya semata konsep sebuah peralihan pekerjaan yang diangkat oleh pengkarya dalam pertunjukannya? Sementara itu, Ipin cevin salah satu penonton yang hadir pada malam pertunjukan tersebut menanggapi bahwa sayang sekali, apakah yang digagas oleh pengkarya hanya semata-mata soalan realitas sosial yang terjadi tentang peralihan pekerjaan tanpa lagi memikirkan nasib petani? Padahal gagasan yang dihadirkan seharusnya bisa menjadi sesuatu yang luar biasa jika konsep emas & beras ini dipikirkan secara matang lagi, hubungannya dengan legenda apakah di masa lampau di desa ini pernah ada peristiwa atau kegiatan serupa? Atau memang ada legenda tentang beras atapun emas ini di tanah Kaleke.
Sangat dimungkinkan sebenarnya karena yang dituangkan pengkarya dalam sinopsis pertunjukan pada akhirnya menimbulkan pertanyaan. Disatu sisi, desa Kaleke ini memiliki banyak cerita-cerita tua, muatan-muatan cerita lokal yang sangat luar biasa, apakah memang pertunjukan itu mencoba untuk membenturkan dalam artian membuka kemauan atau membuka lagi pikiran masyarakat setempat terhadap cerita-cerita tua tersebut. Kaleke memang dikenal dengan cerita-cerita tuanya tapi sayangnya bukti yang sudah hilang membuat peristiwa tersebut akhirnya benar tinggalah sebuah cerita saja. Bukti-bukti sejarah yang terlihat sangat disayangkan sudah tak ada lagi di desa ini. Dan disadari yayan, ini menjadi satu kelemahan yang tidak bisa mempertahankan argumen, bahwa cerita-cerita tua ini betul dalam tutura ada, namun bukti yang tidak ada. Memunculkan sebuah pertanyaan, Kenapa? Apakah cerita-cerita tua itu sengaja untuk dilupakan? Atau dihilangkan jejak sejarahnya? Atau mungkin ada orang-orang yang mau menceritakan tapi disatu sisi terjadi perdebatan juga bagi kalangan tetua di desa kaleke itu sendiri. Namun menurut Yayan, kalau disebut perdebatan,mungkin tidak namun banyak tetua dulu meng-klaim bahwa kubur tomalanggai ada di desa ini padahal dilihat secara bukti itu tidak ada, namun posisi dan nama kuburannya mengarah ke cerita tersebut. Yang tersisa kini adalah tempat/lokasi bentuk daratan yang menyerupai sebuah kapal yang dipercayai masyarakat setempat adalah kapal peninggalan sawerigading.

Akan menjadi sebuah benturan apa yang dihadirkan pengkarya antara konsep dan judul. Sementara Yayan mengungkapkan bahwa penggunaan kata Legenda semata-mata hanyalah menjadi sebuah latar tempat yakni desa Kaleke, bahwa dimana desa yang memiliki legenda itu terdapat konflik batin antara petani dan penambang di dalamnya. Inilah sebuah ekperimentasi sesungguhnya yang dihadirkan oleh pengkarya dan kawan-kawan dari Sanggar Seni Kololio. Namun, penting untuk dipikirkan ketika kita mengangkat sebuah legenda ataupun isu yang sangat lokatif akan menjadi menarik untuk didiskusikan/dibahas lebih lanjut. Walaupun pengkarya hanya menempatkan kata legenda sebagai sebuah simbol tempat dimana sang petani berkonflik, namun secara tidak kita sadari kata ini telah membuka sebuah pintu lahirnya beragam pertanyaan tentang keterkaitan Legenda dan Kaleke itu sendiri. Apakah legenda emas dan beras secara tidak langsung mungkin sudah pernah terjadi di masa lampau?  atau konteksnya dalam kekinian mungkin akan seperti ini. Legenda bukanlah hanya sebuah latar tempat. Dan akan menjadi Pekerjaan Rumah bagi para penonton. Hal ini jauh lebih menarik untuk diperdebatkan dan dibahas baik dalam kaitan pertunjukan maupun dari sisi antropologis, membuat kita terlupakan dengan masalah teknis yang akhirnya menjadi hal belakang untuk ditarik dalam pertunjukan ini.

Legenda Sawerigading dan Kaleke
Dikisahkan pada suatu hari, sebuah kapal yang membawa Sawerigading sepulang dari perjalanannya ke tanah China untuk mengawini tunangannya We Cudai berkunjung ke laut Kaili. Saat itu di tanah kaili terdapat beberapa kerajaan lokal yang berdaulat mulai dari Banawa, Bangga hingga Sigi. Setelah berkunjung ke Ganti, ibu kota kerajaan Banawa, Sawerigading pun berlayar ke arah selatan menuju pantai negeri sigi-pulu, dalam wilayah kerajaan sigi. Perahu Sawerigading berlabuh dipantai Uwe mebere, yang sekarang ini bernama Ranaromba. Kerajaan sigi dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ngginayo atau Ngilinayo yang berparas cantik namun kala itu belum menikah. Sawerigading pun terpikat oleh kecantikannya dan langsung mengajukan pinangan untuk menjadikannya permaisuri, namun untuk memenuhi permintaanya Ngilinayo memberikan sebuah syarat, agar ayam aduan sawerigading yang bernama Baka Cimpolong harus dapat terlebih dahulu mengalahkan ayam aduan raja sigi yang bernama Calabai, dan syarat itu pun  disetujui oleh Sawerigading, hingga akhirnya disepakatilah bahwa usai Sawerigading berkunjung kepantai barat, maka akan disiapkan satu hari untuk menggelar upacara adu ayam tersebut. Dan sementara, Sawerigading berkunjung menuju pantai barat, di Sigi tengah dipersiapkan arena (wala-wala) adu ayam.

Dipantai barat perahu Sawerigading berlabuh dipantai kerajaan Bangga, yang dipimpin oleh raja Wambulangi seorang perempuan yang bergelar Magau Bangga. Sawerigading dan Wambulangi mengikat perjanjian persahabatan. Setelah kunjungannya ke bangga, Sawerigading kembali ke Sigi. Dalam perjalanan itu Sawerigading singgah di sebuah pulau kecil Bugintanga (pulau tengah), untuk menambatkan perahunya ia menancapkan sebatang tonggak panjang (Tokong) ketika meninggalkan pulau itu Sawerigading tidak mencabut Tonggak itu, sehingga bertumbuhlah dan sampai kini dipercaya oleh penduduk sebagai kebangga atau bululanga yang terletak di kampung kaleke. (Dikutip dari legenda Sawerigading, sebagaimana penuturan Matulada dalam bukunya sejarah dan kebudayaan To Kaili). Dan peninggalan ini masih jelas dan mungkin menjadi salah satu jejak yang tertinggal di Kaleke.

Sawerigading adalah tokoh legendaris dalam cerita rakyat tanah kaili. Tokoh ini dihubungkan dengan kedudukan kerajaan Bone, sebagai kerajaan bugis di Sulawesi selatan yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan kerajaan-kerajaan di tanah kaili. Dapat diperkirakan bahwa hubungan-hubungan yang akrab antara kerjaan Bone dengan kerajaan-kerajaan di Tana kaili berlangsung pada abad ke-17. adapun tokoh sawerigading di sulawesi selatan tersebut terdapat dalam epos la-galigo, dipandang sebagai peletak dasar dan cikal bakal raja-raja bugis, khusunya dikerajaan Luwu yang terletak di sebelah utara kerajaan Bone. (Matulada, 1976,)
Satu yang penting, himbauan dari karya ini sebuah elegi sang petani dan akhirnya membuka mata bahwa kita sesekali harus menatap ke belakang, di mana sejarah telah meninggalkan jejaknya untuk kita berpijak. Dan cerita-cerita itu haruslah kita tanamkan kepada anak-anak generasi muda khususnya di desa Kaleke bahwa penting mengetahui kearifan lokal daerahnya sendiri sebagai satu upaya pelestarian dan pendataan warisan budaya yang akan sangat bermanfaat di masa mendatang. Kaleke akan meninggalkan kisahnya sendiri untuk anda cari dan bagi ke masyarakat luas. Dari sebuah himbauan pada sebuah kata Legenda, perjalanan Taluart 2015 akan dimulai di desa ini ! (IL)

Comments