“TA[NA RATA MO]MBINE” The Spirit of Kantau
Pencak Silat adalah salah satu seni bela
diri Nusantara yang terkenal di dunia dan berkembang di Asia Tenggara. Kata
pencak silat adalah asli bahasa Indonesia, pencak
berarti keahlian mempertahankan diri, sedangkan kata silat adalah kepandaian berkelahi. Namun kata pencak dalam bahasa
Kaili diberi arti lain lagi, kata pencak silat di dalam pengertian para Tuakanta (penyebutan untuk guru besar
silat dalam masyarakat Kaili) adalah kantau
(dibagian utara biasa disebut kontau,
sementara bagian timur menyebutnya kuntau).
Di tahun 1837, seorang baligau Tatanga bernama Lasatumpugi sering mengumpulkan pemuda-pemuda untuk diajarkan bela
diri sebagai bentuk perlindungan, menjadi awal kantau digunakan sebagai
bentuk bela diri tradisi. Kantau menjadi suatu seni pertempuran yang
dipergunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, sehingga
gerakan-gerakan diupayakannya cepat, tepat, dan mampu melumpuhkan
lawan. Kantau memiliki gerakan-gerakan dinamis dengan pola yang anggun namun
terlihat gagah dan tangguh.

Kantau mempunyai dua tujuan yaitu
membela diri menghadapi musuh dan pertahanan diri. Pada zaman lampau, Lembah
Kaili merupakan salah satu daerah yang menjanjikan sebagai kawasan penghasil
rempah-rempah yang menarik perhatian kedatangan pihak lain (bangsa asing) untuk
menguasainya, tentunya di masa itu Kantau
dijadikan sebagai salah satu alat dan upaya perlindungan. Sementara saat masa
damai (setelah perang kemerdekaan), bela diri ini diarahkan agar tetap lestari
selain sebagai bentuk bela diri asli. Namun kami mencoba menyajikannya dalam
bentuk seni tari tanpa menghilangkan penyaluran energi silatnya. Kantau sebagai
ilmu bela diri memiliki bagian-bagian yang terpola (serupa jurus) yang oleh
tetua disebut pancaka dengan beberapa
akurasi gerakan efektif, lincah dengan tujuan untuk menghentikan serangan
lawan.

Tatanga menyebut kantau sebagai tovala (sebagai pagar) dalam diri. Dahulu para tuakanta
jarang ada yang mau mempertontonkan keahlian mereka di depan umum,
bagaimana langkah-langkah mereka melumpuhkan musuh. Oleh sebab itu, pada acara adat
atau pesta kerakyatan, para tuakanta jarang memperlihatkan bagaimana mereka
saling serang dan saling mempertahankan diri dengan gerakan yang mematikan.
Keduanya hanya saling memperlihatkan pancaka dan berupaya untuk tidak saling
menyakiti lawan main mereka, karena menjatuhkan tuakanta lain di dalam acara
akan memiliki dampak kurang bagus bagi pihak yang "kalah".
Dalam keseharian, jika seorang tuakanta
dan topokantau yang sudah tinggi tingkatan ilmunya jika ditanya apakah mereka
bisa bersilat, maka mereka biasanya menjawab dengan halus dan mengatakan bahwa
mereka hanya bisa pancaka (jurus pencak), mereka tidak akan mengatakan bahwa
mereka adalah topokantau atau mampu/bisa kantau. Inilah sifat rendah hati ala
masyarakat persilatan, mereka berkata tidak meninggikan diri sendiri, biarlah kenyataan
saja yang bicara. Kata pencak dan silat akhirnya susah dibedakan. Saat ini
setelah pencak silat Indonesia (termasuk beberapa teknik dan jurus kantau)
mulai dikenal di dunia dan dipelajari oleh orang asing, mereka pun
memperlihatkan bagaimana serangan-serangan mematikan itu mereka lakukan.
Di kerajaan Tatanga, dari
masa Lasatumpugi hingga ke masa Ranginggamagi, Kantau masih akrab dalam
keseharian masyarakatnya. Salah satu yang dikenal sebagai Tuakanta generasi terakhir
adalah Gonurante (Pabisara). Bahkan ia mengajarkan pula kantau
dengan teknik yang bisa dilakukan oleh perempuan yang kala itu juga
persebarannya hingga ke Banawa dan hampir secara merata Tadulako tatanga
dibekali ilmu silat tradisi ini baik itu tadulako perempuan maupun tadulako
laki-laki.
Tak banyak yang mengira bahwa di tana
Kaili, kemahiran para perempuan melakukan beberapa jurus Kantau. Hal ini
disebabkan karena para perempuan di kala itu dibekali upaya cara melindungi
diri mereka. Di wilayah Tana Kaili, perempuan ditempatkan pada posisi istimewa,
baik pada posisi sebagai pemimpin upacara adat /ritual maupun dalam memimpin
wilayah/negeri (ngata). Namun tak
banyak perempuan diberi kemuliaan sebagai seorang Tadulako di tanah ini. Tadulako berarti Panglima Perang, namun
secara harafiah pengertian dan fungsi Tadulako semakin berkembang, tidak hanya
berdiri pada saat perang melawan penjajah ataupun musuh, namun Tadulako juga
dikonsepsikan sebagai pemimpin yang mampu melindungi dan mengayomi
rakyatnya.

Di Sulawesi Tengah, dimasa awal
sejarahnya melalui kerajaan-kerajaan yang tersebar, diantaranya dipimpin oleh
para Tadulako perempuan bukan hanya dari Tatanga saja. Mereka menjadi titik
central lahirnya pembangunan di wilayah kerajaan di kala itu. Mereka bahkan
mampu dan memiliki kekuatan untuk duduk bermufakat bersama kaum pria dalam
mengatur strategi. Tadulako-tadulako perempuan ini pun diberi ilham atau sebuah
kekuatan langsung dari Roh leluhur dalam mewariskan kebudayaannya pada generasi
seterusnya. Mereka memiliki jejak langkah sendiri yang tidak dimiliki oleh kaum
pria. Para Tadulako perempuan ini semakin lantang bersuara demi kehormatan dan
adat leluhurnya. Kemajemukan adat tradisi menjadikan perempuan begitu dihargai.
Namun sayang, pembangunan yang kian
menjanjikan di daerah ini membuat seni bela diri tradisi Kantau mulai tergerus
perlahan demi perlahan. Tak banyak lagi di daerah ini yang secara khusus
mengajarkan anak-anak mereka silat tradisi ini. Salah satu penyebabnya juga
adalah terbatasnya informasi dari Tuakanta sebelumnya. Tradisi tutur kita
dikala itu akhirnya tidak diteruskan pada generasi-generasi di bawahnya.

Saat ini, Kantau seolah tergantikan
dengan fenomena konflik masa kini. Beberapa wilayah di Sulawesi Tengah
khususnya Kota Palu merupakan salah satu kawasan rentan konflik, yang beberapa
tahun sebelumnya sering terdengar perkelahian antar kampung, konflik
antar pemuda dan generasi. Bahkan mereka mempersenjatai diri mereka dengan
alat-alat rakitan. Dimasa sebelum kemerdekaan bahkan sebelum agama menyebar di
wilayah Sulawesi Tengah, To Kaili memilika etika dalam segala hal termasuk
ketika sedang menghadapi musuh. Dalam kantau diajarkan etika-etika tersebut.
Kantau tidak membunuh tapi melumpuhkan lawan agar tak ada
lagi perlawanan, kantau tidak menganiaya bila lawan sudah jatuh tersungkur,
Kantau mengajarkan bagaimana melindungi diri dan orang sekitar, Kantau
mengajarkan kesederhanaan dan kesahajaan karena seorang topokantau tidak akan
pernah mau mengakui dirinya mahir bersilat dan tidak memamerkan ilmu serta teknik silatnya
pada lawan ataupun orang banyak. Kantau pun menjadi bentuk olahraga
tradisional, melahirkan sikap solidaritas dan sportivitas.
Melalui karya koreografi ini, kami
mencoba untuk mengkabarkan sebuah tradisi bela diri yang hampir
punah tertelan zaman melalui ragam gerak tari. Mensosialisasikan kembali
bentuk-bentuk tradisi dari kantau ini kepada generasi muda. Spirit di dalam
kantau menjadi penguatan kerjasama dan kesederhanaan perempuan Kaili.
Comments
Post a Comment
Tabe !