“TA[NA RATA MO]MBINE” The Spirit of Kantau

Dipentaskan di : 
Palu, 10 & 24 April 2015,
Solo, 29 April 2015,


Pencak Silat adalah salah satu seni bela diri Nusantara yang terkenal di dunia dan berkembang di Asia Tenggara. Kata pencak silat adalah asli bahasa Indonesia, pencak berarti keahlian mempertahankan diri, sedangkan kata silat adalah kepandaian berkelahi. Namun kata pencak dalam bahasa Kaili diberi arti lain lagi, kata pencak silat di dalam pengertian para Tuakanta (penyebutan untuk guru besar silat dalam masyarakat Kaili) adalah kantau (dibagian utara biasa disebut kontau, sementara bagian timur menyebutnya kuntau). 


Di tahun 1837, seorang baligau Tatanga bernama Lasatumpugi sering mengumpulkan pemuda-pemuda untuk diajarkan bela diri sebagai bentuk perlindungan, menjadi awal kantau digunakan sebagai bentuk bela diri tradisi. Kantau menjadi suatu seni pertempuran yang dipergunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, sehingga gerakan-gerakan diupayakannya cepat, tepat, dan mampu melumpuhkan lawan. Kantau memiliki gerakan-gerakan dinamis dengan pola yang anggun namun terlihat gagah dan tangguh.


Kantau mempunyai dua tujuan yaitu membela diri menghadapi musuh dan pertahanan diri. Pada zaman lampau, Lembah Kaili merupakan salah satu daerah yang menjanjikan sebagai kawasan penghasil rempah-rempah yang menarik perhatian kedatangan pihak lain (bangsa asing) untuk menguasainya, tentunya di masa itu Kantau dijadikan sebagai salah satu alat dan upaya perlindungan. Sementara saat masa damai (setelah perang kemerdekaan), bela diri ini diarahkan agar tetap lestari selain sebagai bentuk bela diri asli. Namun kami mencoba menyajikannya dalam bentuk seni tari tanpa menghilangkan penyaluran energi silatnya. Kantau sebagai ilmu bela diri memiliki bagian-bagian yang terpola (serupa jurus) yang oleh tetua disebut pancaka dengan beberapa akurasi gerakan efektif, lincah dengan tujuan untuk menghentikan serangan lawan.


Tatanga menyebut kantau sebagai tovala (sebagai pagar) dalam diri. Dahulu para tuakanta jarang ada yang mau mempertontonkan keahlian mereka di depan umum, bagaimana langkah-langkah mereka melumpuhkan musuh. Oleh sebab itu, pada acara adat atau pesta kerakyatan, para tuakanta jarang memperlihatkan bagaimana mereka saling serang dan saling mempertahankan diri dengan gerakan yang mematikan. Keduanya hanya saling memperlihatkan pancaka dan berupaya untuk tidak saling menyakiti lawan main mereka, karena menjatuhkan tuakanta lain di dalam acara akan memiliki dampak kurang bagus bagi pihak yang "kalah".

Dalam keseharian, jika seorang tuakanta dan topokantau yang sudah tinggi tingkatan ilmunya jika ditanya apakah mereka bisa bersilat, maka mereka biasanya menjawab dengan halus dan mengatakan bahwa mereka hanya bisa pancaka (jurus pencak), mereka tidak akan mengatakan bahwa mereka adalah topokantau atau mampu/bisa kantau. Inilah sifat rendah hati ala masyarakat persilatan, mereka berkata tidak meninggikan diri sendiri, biarlah kenyataan saja yang bicara. Kata pencak dan silat akhirnya susah dibedakan. Saat ini setelah pencak silat Indonesia (termasuk beberapa teknik dan jurus kantau) mulai dikenal di dunia dan dipelajari oleh orang asing, mereka pun memperlihatkan bagaimana serangan-serangan mematikan itu mereka lakukan.

Di kerajaan Tatanga, dari masa Lasatumpugi hingga ke masa Ranginggamagi, Kantau masih akrab dalam keseharian masyarakatnya. Salah satu yang dikenal sebagai Tuakanta generasi terakhir adalah Gonurante (Pabisara). Bahkan ia mengajarkan pula kantau dengan teknik yang bisa dilakukan oleh perempuan yang kala itu juga persebarannya hingga ke Banawa dan hampir secara merata Tadulako tatanga dibekali ilmu silat tradisi ini baik itu tadulako perempuan maupun tadulako laki-laki.

Tak banyak yang mengira bahwa di tana Kaili, kemahiran para perempuan melakukan beberapa jurus Kantau. Hal ini disebabkan karena para perempuan di kala itu dibekali upaya cara melindungi diri mereka. Di wilayah Tana Kaili, perempuan ditempatkan pada posisi istimewa, baik pada posisi sebagai pemimpin upacara adat /ritual maupun dalam memimpin wilayah/negeri (ngata). Namun tak banyak perempuan diberi kemuliaan sebagai seorang Tadulako di tanah ini. Tadulako berarti Panglima Perang, namun secara harafiah pengertian dan fungsi Tadulako semakin berkembang, tidak hanya berdiri pada saat perang melawan penjajah ataupun musuh, namun Tadulako juga dikonsepsikan sebagai pemimpin yang mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya.


Di Sulawesi Tengah, dimasa awal sejarahnya melalui kerajaan-kerajaan yang tersebar, diantaranya dipimpin oleh para Tadulako perempuan bukan hanya dari Tatanga saja. Mereka menjadi titik central lahirnya pembangunan di wilayah kerajaan di kala itu. Mereka bahkan mampu dan memiliki kekuatan untuk duduk bermufakat bersama kaum pria dalam mengatur strategi. Tadulako-tadulako perempuan ini pun diberi ilham atau sebuah kekuatan langsung dari Roh leluhur dalam mewariskan kebudayaannya pada generasi seterusnya. Mereka memiliki jejak langkah sendiri yang tidak dimiliki oleh kaum pria. Para Tadulako perempuan ini semakin lantang bersuara demi kehormatan dan adat leluhurnya. Kemajemukan adat tradisi menjadikan perempuan begitu dihargai. 

Namun sayang, pembangunan yang kian menjanjikan di daerah ini membuat seni bela diri tradisi Kantau mulai tergerus perlahan demi perlahan. Tak banyak lagi di daerah ini yang secara khusus mengajarkan anak-anak mereka silat tradisi ini. Salah satu penyebabnya juga adalah terbatasnya informasi dari Tuakanta sebelumnya. Tradisi tutur kita dikala itu akhirnya tidak diteruskan pada generasi-generasi di bawahnya.


Saat ini, Kantau seolah tergantikan dengan fenomena konflik masa kini. Beberapa wilayah di Sulawesi Tengah khususnya Kota Palu merupakan salah satu kawasan rentan konflik, yang beberapa tahun sebelumnya sering terdengar perkelahian antar kampung, konflik antar pemuda dan generasi. Bahkan mereka mempersenjatai diri mereka dengan alat-alat rakitan. Dimasa sebelum kemerdekaan bahkan sebelum agama menyebar di wilayah Sulawesi Tengah, To Kaili memilika etika dalam segala hal termasuk ketika sedang menghadapi musuh. Dalam kantau diajarkan etika-etika tersebut. Kantau tidak membunuh tapi melumpuhkan lawan agar tak ada lagi perlawanan, kantau tidak menganiaya bila lawan sudah jatuh tersungkur, Kantau mengajarkan bagaimana melindungi diri dan orang sekitar, Kantau mengajarkan kesederhanaan dan kesahajaan karena seorang topokantau tidak akan pernah mau mengakui dirinya mahir bersilat dan tidak memamerkan ilmu serta teknik silatnya pada lawan ataupun orang banyak. Kantau pun menjadi bentuk olahraga tradisional, melahirkan sikap solidaritas dan sportivitas.






Melalui karya koreografi ini, kami mencoba untuk mengkabarkan sebuah tradisi bela diri yang hampir punah tertelan zaman melalui ragam gerak tari. Mensosialisasikan kembali bentuk-bentuk tradisi dari kantau ini kepada generasi muda. Spirit di dalam kantau menjadi penguatan kerjasama dan kesederhanaan perempuan Kaili.

Comments

Popular Posts