Pertunjukan Tari "MAAF, BELUM ADA NAMA" Peraih Hibah Seni Kelola 2015
TENTANG KARYA
Parlow merupakan sebuah nama tempat atau
kawasan dari sebuah pengamatan verbal David Woodward ketika melihat para warga
yang ditemuinya di sepanjang pesisir teluk hingga ke pantai sisi bagian barat
Sulawesi. Setelah bebas menjadi tawanan raja Palu, ia akhirnya melanjutkan
perjalanannya. Di tahun 1796, ia berjumpa dengan seorang penulis yang juga pegawai
veen perkapalan di London bernama
William Vaughan dalam perjalanannya menuju Hamburg (Jerman) bersama kapal
barunya. Kisah keberanian dan penderitaan David Woodward dituliskan Vaughan
dalam bukunya yang berjudul The Narrative
of Captain David Woodward pada tahun 1804 yang akhirnya menyebarluas di
beberapa kawasan Eropa. Menariknya pada akhir buku ini memuat lampiran daftar
kosa kata Melayu yang diberi judul A
Brief Vocabulary of the Malay Language. Seluruh kosa kata ini ditulis
sendiri oleh Woodward selama ia di tawan di Palu, bahkan dalam lampiran
tersebut ia membubuhkan tanda tangan bermaterai dan
juga pemetaan ruas wilayah dengan pemberian nama-nama tertentu yang ia
cantumkan.
Namun, sebenarnya hal ini tidaklah begitu mengherankan ketika seorang Woodward
bisa menemukan begitu banyak kosa kata Melayu di wilayah Palu kala itu karena
jauh pada abad sebelum kedatangan Woodward di Palu, terlebih dahulu telah
datang seorang mubaligh Minangkabau yang kapalnya juga karam di teluk tersebut
yang membawanya menyiarkan dan menyebarkan Islam di wilayah ini. Sayangnya, tak
begitu banyak orang yang menuliskan tentang nama David Woodward dalam catatan
sejarah yang berhubungan atau berkaitan dengan Palu.
Mengapa David Woodward, Kosa
Kata Melayu dan Plang Jalan? Karena ketiganya memiliki keterkaitan yang
memiliki ikatan hingga saat ini. Walau Woodward bukan orang yang pertama dalam
hal pengumpulan kosa kata-kosa kata baru di wilayah pesisir Palu, namun dia lah
orang pertama yang mulai melakukan pemetaan atau pemisahan nama (1 kata) untuk
nama satu wilayah. Hal ini ia lakukan agar bisa menghafal nama-nama ruas
wilayah yang telah di lewati atau akan nantinya ia lewati. Hal ini ia tuliskan
pada catatan pribadinya yang dituliskan kembali oleh Vaughan. Mengapa hal ini menjadi
begitu penting karena Woodward mencantumkan nama-nama raja atau penguasa
wilayah setempat, beberapanya lagi ia beri nama gelar-gelar yang melekat pada
beberapa tokoh penting di masa ia di tawan oleh Raja Palu dan sebagiannya
melingkupi wilayah paling barat pesisir Palu, ia beri nama dari bahasa lokal
masyarakat setempat yaitu Kaili dan tak ada yang tersisa hingga kini, karena
semuanya telah berganti. Nama-nama raja atau pemimpin belum kesemuanya menjadi
nama jalan, nama gelar atau julukan dari para tokoh dan tetua masa lampau pun
hilang berganti dengan nama jalan Pahlawan Revolusi dan beberapa nama binatang.
Sementara nama jalan dengan bahasa Kaili pun berubah kembali di Indonesia-kan
sehingga sempat menjadi kebingungan bagi
para orangtua asli yang akan berkunjung ke jalan tersebut. Disinilah
kegelisahan koreografer muncul mempertanyakan kembali pada pemimpin dan calon
pemimpin Kota Palu, apakah sebuah nama jalan hanya deretan papan biasa yang
berdiri di jalan tanpa makna?
Usia
yang sebenarnya terbilang sudah matang untuk Parlow atau yang sekarang disebut
Kota Palu, namun entah alasan apa sehingga pemerintah kota ini tak pernah mau
menyebar histografi kota yang terlupakan. Membahas kota kita akan membahas
pula arus kebudayaan yang melintang di sekelilingnya. Masyarakat layak tahu dan
mengenal kotanya sendiri. Secara administratif, Palu belum mengalami perubahan signifikan menuju arah perkembangan kebudayaan
selain paham kebudayaan yang terbangun oleh stigma kepentingan. Entah apa alasan orang-orang yang memimpin kota palu ini menjadikan
palu sebagai salah satu kota yang menghilangkan identitasnya sendiri. Palu hanyalah sebagai tempat transit bagi
para turis baik domestik maupun asing. Sejarah sosio culture seolah mulai terabaikan. Penghargaan tinggi kepada tetua-tetua yang pernah berjuang untuk kota seolah nyaris
pupus di mata generasi mudanya. Anak muda Kota Palu lebih terjerumus kebudayaan asing, mereka tidak sepenuhnya disalahkan karena memang sejak awal mereka tak dibekali rasa mencintai dan memiliki Palu.
Palu
dikenal bukan dari gebrakan kebudayaannya namun dari rentan konflik yang
berlangsung dan berkepanjangan. Konflik antar kampungnya berlangsung secara intens setiap tahun berlanjut tanpa ada
upaya penanganan khusus dari jalur komunikasi lintas etnik dan budaya. Rasa
tidak memiliki dan mencintai daerah disebabkan krisis kebudayaan
yang berlanjut ke anak cucu, generasi yang semestinya mendapatkan porsi
informasi banyak namun itu tak terjadi, sehingga
informasi serta berita-berita secara langsung diterima tanpa disaring lagi.
Kota Palu sudah saatnya memikirkan sebuah bentuk kecil dari penghargaan kepada
orang-orang yang setidaknya pernah berjasa menghantarkan Palu hingga menjadi
kota sedang berkembang saat ini dan tentunya
perkembangan di Sulawesi Tengah secara umum. Utamanya adalah dari hal kecil
PAPAN NAMA JALAN yang tidak mencerminkan kebudayaan palu itu sendiri. Ketika
nama-nama jalan diubah ke nama-nama binatang dan perda yang
memberlakukan nama-nama jalan menggunakan Bahasa
Daerah (Kaili) sekarang dilanggar sendiri oleh para pemangku kepentingan di
kota ini. Menyebabkan masyarakat pun turut mengalami krisis
bahasa daerah. Sebuah Papan Nama Jalan sebenarnya bisa menjadi salah satu celah untuk
meredakan konflik. Bahwa sebenarnya, sebuah plang jalan bukan hanya sekedar
untuk dilewati, tapi bisa untuk dicermati ada sejarah didalamnya. Plang jalan
bukan hanya sekedar benda mati yang berdiri di ruas-ruas jalan sebagai penanda,
justru karena ia sebagai penanda penting maka kau akan tahu arti berdiri dan
berpijak pada tanah mana kau melangkah. Bahwa arti sebuah nama jalan penting
untuk keberlangsungan peristiwa sejarah yang sudah semestinya sedikit demi
sedikit diurai untuk generasi muda kita.
Karya
ini turut
melibatkan pemangku kepentingan yang berhubungan dengan
Tata Ruang Kota Palu dan akan melakukan sosialisi pertunjukan di beberapa papan nama jalan yang tidak singkron dan tidak
mencerminkan kebudayaan Palu. Pengkarya dan tim produksi telah melakukan workshop pemetaan
Papan Nama Jalan di beberapa ruas jalan penting wilayah Kota Palu. Hal ini
telah dilaksanakan sebanyak 3 (tiga) kali di 4 Kecamatan dan beberapa plang
jalan sudah mulai berdiri, namun tetap poin penting yang masih menjadi masalah
dan PR besar bagi pengkarya dalam karya ini adalah belum kembalinya nama-nama
jalan yang sebelumnya berbahasa Kaili (bahasa Daerah) kemudian di ubah ke
bahasa Indonesia dan beberapa nama jalan yang sebelumnya merupakan tokoh-tokoh
penting di masa Kota Palu dari masa ke masa.
Besar harapan pengkarya bahwa karya ini bisa menjadi sebuah kritik, protes, saran, masukan
dan usulan agar pemerintah kota Palu untuk benar-benar memikirkan sebuah PAPAN NAMA JALAN yang sudah semestinya
menjadi
penanda awal sejarah kota Palu melalui sebuah plang jalan, kemudian plang jalan
tersebut sebagai salah satu mediasi pencegahan konflik dan utamanya adalah
sebagai nilai historis untuk generasi muda kota Palu secara khusus.
Tim
Produksi
Koroegrafer : Iin Ainar Lawide
Penari : Isra Masita, Rifka Anissa, Isra Masita
Penata Musik : Nashir Umar
Penata Artistik : Yadhi Saja
Penata Cahaya : Ipin Cevin
Penata Kostum : Farida
Tim Manajemen : Adesiani, Nezhar
Stage Manager : Yudha Prawira
Pimpinan Produksi : Arifin Baderan
TENTANG YAYASAN KELOLA
Didirikan pada tahun 1999, Kelola merupakan sebuah organisasi nirlaba
yang merespon kebutuhan komunitas seni pertunjukan dan seni visual melalui pemberian akses pembelajaran, informasi, dan
pendanaan. Kelola juga mewujudkan pertukaran budaya dengan menjalin dialog
antar pelaku seni, berbagi ketrampilan serta pengetahuan, dan membangun
jejaring kerja antara seniman, penonton, dan masyarakat pendukungnya di
Indonesia, Asia dan dunia internasional. Program-program
Kelola disusun sebagai tanggapan terhadap berbagai kebutuhan dan permasalahan
yang diungkapkan oleh masyarakat seni visual, tari, musik dan teater Indonesia.
Hingga
kini, Kelola telah membuka kesempatan belajar bagi > 3,500 seniman dan
praktisi seni di seluruh Indonesia lewat program-program Kelola seperti
lokakarya, Hibah Seni, Magang Nusantara, Magang Internasional, Pemberdayaan
Seniman Perempuan dan Teater untuk Edukasi dan Pemberdayaan.
Kelola
Jl.
Abdul Madjid 44 R Cipete Selatan, Jakarta 12410 – Indonesia l T.
+62.21.75906499 l F. +62.21.7661966 l www.kelola.or.id l www.facebook.com/kelola.or.id
l @YayasanKelola
Comments
Post a Comment
Tabe !