ISAK TANGIS MAGRIBKU ; sebuah tulisan dari Hasna atas pengalamannya melewati Peristiwa Gempa 28/9
HASNAH, salah satu anggota Komunitas Seni Lobo. Mahasiswa Bahasa & Sastra FKIP Untad yang aktif dalam Bidang Penulisan. Ia juga aktivis UKPM ( Unit Kegiatan Penalaran Mahasiswa)
Namaku, Hasna. Seorang mahasiswa semester
lima. Sedikit kuceritakan mengenai peristiwa besar yang saat ini masih menjadi
topik hangat dunia. Ya, bencana gempa dan tsunami kota Palu, Indonesia. Sebuah
peristiwa yang mengajarkan aku betapa pentingnya orang terdekat dan untuk
pertama kalinya aku sangat bersyukur atas sesuatu yang amat berharga. Aku
sangat bersyukur atas nafas dan hidup yang aku dan orang-orang terdekatku
miliki. Sungguh, aku sangat bersyukur.
Kulirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 18.08 WITA. Magrib hampir tiba.
Kuperhatikan sekelilingku, langit tampak gelap, suasana tampak mencekam,
seperti akan pilu. Tiba-tiba bumi bergetar, berguncang amat dahsyat. Aku
terkejut, meloncat dari motor, berusaha menjauh, tapi dengan sendirinya aku
terangkat dan menjauh dari motor. Bumi masih berguncang saat kulihat motorku
sudah tergeletak terlentang diatas aspal hitam.
Aku kaget. Panik. Tanpa aba-aba air mataku
mengalir, bumi masih berguncang hebat saat tiba-tiba pikiranku teralihkan pada
Tuhanku.
"Astagfirullah. Allahu Akbar. Allahu
Akbar. Allahu Akbar. Ada apa ini Ya Allah, kiamatkah Ini?" Pikirku.
Detik berikutnya kusaksikan dengan kedua
mataku, gedung megah Universitas Terbuka yang berlantai tiga runtuh, hancur
lebur ke dasar lantai 1. Gedung itu miring, hanya sebelahnya yang runtuh ke
lantai 1, sebelahnya lagi hanya sampai di lantai 2. Detik berikutnya, Seorang
perempuan keluar sambil menjerit-jerit, histeris hampir terjebak reruntuhan
bangunan.
Tangisku pecah, kurasakan aliran darahku
seperti melejit ke atas memenuhi otak, pikirkanku melesat pada ingatan kedua
orangtua yang berada di rumah. Ibuku yang sedang hamil muda, usia kandungan
tiga bulan. Aku menangis sejadi-jadinya mengingat Ibu. Air mataku tak
henti-hentinya mengalir, dengan tangan bergetar kucari handphone, sementara
mataku tak lepas dari sekeliling, Isak tangis dan teriakan ketakutan
orang-orang disekitarku mengudara di langit sore itu. Kulihat Niar dan Sulis berlari ke tengah jalan sambil menangis,
beristighfar. Aku berlari ke arah mereka, kupeluk mereka.
"Aku takut, Niar, Sulis. Aku takut. Ibuku
bagaimana? Dia sedang Hamillllll," ucapku dengan tangis pilu.
Tak mampu kubayangkan apa yang terjadi pada
ibu saat itu. Usia kandungan yang masih sangat muda, baru memasuki tiga bulan.
Masih teramat muda. Harapanku pada adik bayi. Impian ayah-ibuku pada seorang
anak lelaki. Impian sosok baru di keluarga kecilku. Harapan ayahku yang kembali
menjadi ayah baru. Harapan keluarga besarku pada cucu baru, katanya. Ponakan
baru kata paman dan bibiku.
Bumi teralu kuat berguncang sore itu.
Kutakutkan Ibuku Panik, kaget, terjatuh, terpental atau ada hal-hal lain yang
mungkin saja terjadi. Aku berteriak memanggil Ibuku. Bumi berhenti bergetar,
dengan gerakan cepat aku kembali mengambil handphoneku, mengetik dengan
gemetar, mencoba menghubungi Ibuku dan tanpa kusadari jaringan telah hilang
pada saat itu. Suara tiang listrik yang berjatuhan kembali terdengar, dan dalam
hitungan detik bumi kembali bergetar, tangis pilu semakin pecah bersama dengan
teriakan orang-orang yang berlarian.
"Ada air! Ada Air!"
"Air naik! Lari!"
"Tsunami! Lari!!!"
"Lariiiiii!"
Tanpa pikir panjang aku melepas pelukanku
dengan Niar dan Sulis, Niar bergegas lari, Sulis dan akupun seperti itu. Tapi
Sulis meneriakiku, mengatakan, "Hasna, bawa motormu! Bawa!" Katanya
sambil berlari kembali ke arah motornya.
Masih dengan sisa tangis dan rasa ketakutan, panik
serta tangan yang gemetar. Kunyalakan motorku, sebisa mungkin bergerak cepat,
kudengar teriakan salah seorang wanita diantara kerumunan orang-orang yang
berusaha berlari menyelamatkan diri.
"Dek, sama-sama kita." Katanya
dengan Isak tangis,
"Dek, Kakak Numpang motormu, Ya."
Kuiyakan, sebab beruntung saat itu aku sedang
sendiri. Ia memboncengku, memintaku untuk memeluk erat, ia melajukan motor
sambil menangis, mengucapkan kalimat-kalimat istighfar.
"Kak, kita ke mana?"
"Kemanapun, Dek. Ke tempat yang paling
tinggi pokoknya."
"Kak, saya takut."
"Iya, Dek. Kakak juga takut. Istighfar
saja, Dek." Ucapnya masih terisak.
"Kak, Ibuku."
"Ada apa dengan ibumu, dek?"
"Ibuku sedang hamil, kak. Aku takut ia
kenapa-kenapa."
"Astagfirullah."
"Kakkkkk," tangisku semakin pecah.
Pilu. Ketakutan. Menduga-duga yang tak ingin. Berusaha membuang prasangka.
Langit semakin gelap. Tak ada penerangan
listrik, mendadak listrik sekota Palu padam. pencahayaan hanya berasal dari
lampu motor dan mobil yang juga berjalan mengarah ke gunung. Katanya, ketika
gempa amat kuat, jauhi gedung-gedung tinggi, berlindunglah di area yang lapang.
Mengingat air yang naik dan akan menenggelamkan kota Palu, kami melewati
lapangan pertama dan kedua hingga tiba di lapangan ketiga yang sudah mendekati
area puncak gunung.
Kekacauan kembali terjadi. Orang-orang sibuk
berlarian, menyelamatkan diri, menuju puncak gunung, masih dengan derasnya air
mata, air mata pilu, air mata ketakutan, air mata kehilangan. Aku bersama kak
Ferren kembali berlari, mengikuti arus orang-orang yang juga berlari ketakutan.
Wajah-wajah penuh air mata, ketakutan dan kepanikan.
Kami memutuskan untuk meninggalkan motor di
lapangan, melihat kondisi yang sudah tidak memungkinkan untuk naik motor.
Jalanan yang amat padat, orang-orang berdesakan menuju puncak gunung. Perasaan
panik, khawatir terhadap tsunami yang melanda. Suasana malam itu tak karuan.
Kacau, pilu dan penuh duka.
Pukul delapan malam, suasana semakin tenang,
bumi tak lagi berguncang hebat. Hanya ada getaran sedikit demi sedikit. Tak
apa, kabar mengenai stunami pun telah reda. Diantara kerumunan orang-orang yang
berkumpul aku hanya berdua bersama kak Ferren, ada yang bersama teman-temannya,
keluarganya, sahabatnya. Beberapa menit kemudian, sahut-menyahut orang-orang
mencari keluarganya. Mencari anaknya, istrinya, adiknya, kakaknya, temannya.
Tak ada yang mencariku, tidak satu pun.
"Astagfirullah!!" Tiba-tiba wanita
di sebelah kak Ferren histeris.
"Ada apa?" Kak Ferren bertanya
penasaran.
"Mall PGM dan sekitarnya hancur disapu
tsunami," jawabnya sambil memperlihatkan gambar di handphonenya.
Mendadak hatiku perih mendengarnya.
Bagaimana dengan Ibuku?
Apakah dia selamat?
Apakah dia diterjang tsunami?
Apakah tsunaminya sampai di area Kabonena?
Apakah sampai di rumahku?
Apakah ibuku masih sempat menyelamatkan diri?
Astagfirullah!? Hatiku pilu mengingatnya, amat
takut hari esok tanpa Ibu, tanpa ayah. Aku kembali terisak. Aku takut. Sangat
takut.
Dzikirku semakin cepat, Kulangitkan doaku,
penuh harap pada Tuhanku.
“Semalamatkan Ibu, Ya Allah.” Hanya itu.
Permohonanku, bersama Isak tangis ketakutan. Aku memeluk lututku.
Menenggelamkan kepalaku diantaranya. Menyembunyikan Isak tangisku.
Hingga
sayup-sayup kudengar percakapan orang-orang disekitarku.
Setelahnya tak terdengar lagi. Suara-suara
seperti lenyap. Sunyi. Senyap. Hening. Sepi.
Suasana terasa tenang. Bumi tak lagi
berguncang. Aku masih bersama kak Ferren. Masih bersama Isak tangisku. Masih
bersama gelisahku, bersama kekhawatiranku. Memikirkan ibuku, ayahku, adikku.
Keluargaku, teman-temanku. Apa kabar mereka malam ini?
Dimana mereka malam ini? Selamatkah mereka?
***
Pukul sepuluh kurang lima belas menit, kami
akhirnya memutuskan untuk turun dan kembali ke Lapangan.
Tuhan memang selalu punya cara mempertemukan
kita dengan orang-orang terdekat. Bagaimana pun bentuknya. Kita hanya harus
banyak bersyukur dan berdoa. Aku berbalik ke arah kak Ferren, kulihat ia menghapus
tetes-tetes bulir yang mengalir di pipinya. Ia pasti mengingat kedua
orangtuanya di kejauhan sana.
***
Pukul enam pagi, aku membangun kak Ferren.
Masih ada gempa susulan, hingga pagi ini. Tidak terlalu besar, tapi cukup
membuatku panik, memeluk erat kak Ferren.
Peristiwa kemarin benar-benar
meluluh-lantakkan kota Palu. Tsunami yang membuat jalan Yos Sudarso sulit untuk
dilalui. Kami harus memutar motor dan melewati jalan Hangtuah, terus ke Setia
Budi, melewati beberapa lorong yang jalannya juga tak bisa dikatakan baik,
tampak retak-retak disepanjang jalan.
Kami keluar dari jalan Pramuka, berbelok
menuju jalan Haji Hayyun terus ke jalan Kimaja, di sana juga banyak jalan yang
retak-retak, sebelah kira dan kanan tampak bangunan yang hancur total.
Perjalanan kami masih berlanjut hingga berbelok ke jalan Imam Bonjol, arah
kanan menuju mesjid Agung. Tampak mesjid Agung, salah satu mesjid raya kota
Palu yang amat besar itu juga luluh lantak oleh gempa, segala sisi bangunannya
hancur dan retak, tetapi gedungnya masih berdiri kokoh.
Motor masih melaju, berbelok ke jalan datu
Adam menuju jalan asam dua yang berada dibelakang Mesjid Agung. Jalan asam dua
juga menjadi jalur akses terparah untuk kerusakan jalan, tampak jalanan yang
bergelombang, retak dan mengeluarkan air dari dalam tanahnya. Gedung-gedung dan
rumah di jalan asam dua juga tak ada lagi yang utuh. Semuanya hancur ke kira
dan kanan, bengkok, pecah bahkan retak. Pemandangan yang mengerikan dan
mencemaskan. Aku semakin takut untuk tiba di rumah. Takut-takut membayangkan
bagaimana kondisi rumahku saat ini, bagaimana kondisi orang-orang rumah.
Bagaimana kabar mereka?
Kami tiba di ujung jalan Asam dua, belok kanan
menyusuri jalan Munif Rahman yang amat padat, wajar saja jalan Munif Rahman
yang termasuk kelurahan Donggala Kodi ini merupakan daerah puncak yang menjadi
jalur evakuasi ketika gempa dan tsunami datang. Kuperhatikan sekelilingku,
mencari-cari, mana tahu ada adik, sepupu, ayah ataupun ibuku diantara kerumunan
orang. Tapi tak kutemukan satupun dari mereka. Aku berusaha berpikir positif,
mungkin saja mereka sudah tiba di rumah sejak pagi tadi.
Tapi bagaimana jika Mereka tidak ada di rumah?
Bagaimana jika rumahku juga disapu tsunami?
Bagaimana jika mereka ...
Ahhh ...
Aku menggeleng-gelengkan kepala, berusaha
mengusir pikiran-pikiran buruk yang menghantui.
“Alhamdulillah!”
Aku menghela nafas lega, saat melihat pagar
rumahku baik-baik saja. Bahkan rumah tetangga dan sekitar masih utuh, meski
beberapa bangunan tampak retak. Aku berlari masuk ke rumah, mencari Ibu sambil
berteriak memanggilnya. Kulihat ia berdiri di dapur, entah apa yang sedang
dibuatnya, intinya aku sangat bersyukur, Ia selamat. Aku memeluknya dengan
erat, bersama air mata dan rasa syukur.
"Alhamdulillah," ucapku terisak.
Untuk pertama kalinya aku sangat bersyukur melihat sesuatu, melihat orang yang
amat berharga masih dilindungi. Aku amat bersyukur masih diberi kesempatan
untuk menjaga dan menyanyi ibuku.
Kusarakan tangan ayahku yang memeluk dari
belakang. Ia juga terisak, pasti ia memikirkanku semalaman.
Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut
ayahku, tapi percayalah ia tak membutuhkan jawaban. Ia kembali memelukku erat.
Sangat erat, penuh rasa syukur.
Pagi itu aku benar-benar berucap syukur kepada
Tuhan. Terimakasih masih memberiku kesempatan untuk menjaga dan menyayangi
keduanya. Terimakasih masih memberiku kesempatan untuk berbuat baik dan memberi
yang terbaik untuk keduanya. Terimakasih masih memberiku kesempatan untuk
membuat keduanya bangga terhadapku. Terimakasih.
Comments
Post a Comment
Tabe !